Abstrak
UU
No 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal yang pada Pasal 31 telah menyebutkan adanya
pengaturan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) sebagai bagian dari kegiatan penanaman
modal di Indonesia. Cikal bakal dari kegiatan KEK sudah ada dengan
diundangkannya UU tentang Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas. Selain itu
praktek yang mengarah kepada kegiatan KEK sudah ada dengan ditandatanganinya
MOU antara Pemerintah RI dan Pemerintah Singapura, dengan menjadikan Batam,
Bintan dan Karimun (BBK) sebagai proyek percontohan. Walaupun sudah ada proyek
percontohan dan ada beberapa instrument pengaturannya, tetapi untuk mengatur
masalah KEK sebagai bagian dari kegiatan investasi memerlukan kajian hukum yang
lebih komprehensif, sehingga nantinya kegiatan KEK sebagai bagian dari kegiatan
penanaman modal mempunyai arti yang signifikan dengan kegiatan penanaman modal di Indonesia.
Pendahuluan
UU
No 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal telah diundangkan pada tanggal 26
April 2007 dan dalam salah satu bab yang diatur pada Bab XIV yaitu tentang
Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) sebagaimana diatur dalam Pasal 31. UU No 25 Tahun
2007 tidak memberikan penjelasan resmi tentang makna hukum dalam KEK tersebut,
tapi dalam pelaksanaannya isu seputar KEK telah bergulir sebelum permasalahan
KEK diatur dalam UU No 25 Tahun 2007. Hal ini dapat dilihat pada tanggal 25
Juni 2006, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melakukan penandatanganan kerja
sama pembentukan Special Economic Zone (SEZ) bersama Perdana Menteri
Singapura Lee Hsien Loong di Turi Beach Resort. Jadi sebelum pengaturan KEK
tersebut, sebenarnya cikal bakal terbentuknya KEK sudah dilakukan oleh
Pemerintah RI dengan Pemerintah Singapora. Jadi dengan pengaturan KEK dalam UU
No 25 Tahun 2007 merupakan salah satu justifikasi atau legalitas KEK dalam UU
No 25 Tahun 2007 atau dalam RUU KEK di masa mendatang. Keinginan pemerintah
untuk merealisir KEK juga diungkapkan Wapres Jusuf Kalla[1],
bahwa gagasan memperjelas KEK di beberapa daerah yang diprediksi potensial
menjadi industrial cluster sesuai dengan kapasitas kawasan
masing-masing, yakni sesuai dengan UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah.
Amanat
pembentukan KEK dalam UU sebagaimana disebutkan dalam Pasal 31 ayat (3) UU No
25 Tahun 2007, telah dilakukan pemerintah dengan disiapkannya Naskah Akademis
dan Draft RUU tentang Kawasan Ekonomi Khusus[2].
Bahkan dalam Program Legislasi Nasional tahun 2008, RUU KEK merupakan salah
satu di antara 31 RUU yang akan menjadi prioritas pembahasan RUU antara
Pemerintah dan DPR pada tahun anggaran 2008.[3]
Upaya
pemerintah untuk mengembangkan daerah tertentu sebagai bagian dari KEK pernah
diungkapkan oleh Menteri Perdagangan RI Mari Pangestu dalam Rapat Kerja dengan
Komisi VI DPR-RI[4].
Pembentukan KEK merupakan upaya pemerintah untuk mempercepat peningkatan ekspor
dan investasi diperlukan berbagai kebijakan khusus. Hal ini juga sebagai upaya
untuk menandingi negara pesaing utama seperti RRC[5],
Vietnam, Malaysia dan Thailand. Kebijakan khusus dimaksud dalam bentuk
fasilitas khusus di bidang perpajakan, kepabeanan, infrastruktur pendukung,
kemudahan perijian, keimigrasian dan ketenagakerjaan.
Selama
ini ada beberapa bentuk atau kluster yang berhubungan dengan kawasan
pengembangan perekonomian, seperti :
- Kawasan Industri (Keputusan Presiden No 41 Tahun 1996)
- Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu/KAPET (Keputusan Presiden No 150 Tahun 2000)
- Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas.(UU No 44 Tahun 2007 tentang Penetapan Perppu No 1 Tahun 2007 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas)
- Tempat Penimbunan Berikat (PP No 33 Tahun 1996) dalam bentuk :
- Kawasan Berikat dan Kawasan Berikat Plus;
- Gudang Berikat;
- Entrepot Untuk Tujuan Pameran;
- Toko Bebas Bea, dan
- Kawasan Ekonomi Khusus (Bab XIV UU No 25 Tahun 2007).
Bagi
pemerintah sendiri keinginan untuk mengembangkan suatu kawasan ekonomi khusus
ada hubungannya dengan kegiatan investasi pada umumnya, hal ini dapat dilihat
dari tujuan pengembangan KEK, yaitu :
- peningkatan investasi;
- penyerapan tenaga kerja;
- penerimaan devisa sebagai hasil dari peningkatan ekspor;
- meningkatkan keunggulan kompetitif produk ekspor;
- meningkatkan pemanfaatan sumber daya lokal, pelayanan dan kapital bagi peningkatan ekspor;
- mendorong terjadinya peningkatan kualitas SDM melalui transfer teknologi.
Maksud
pengembangan KEK, antara lain:[6]
- Memberi peluang bagi peningkatan investasi melalui penyiapan kawasan yang memiliki keunggulan dan siap menampung kegiatan industri, ekspor impor serta kegiatan ekonomi yang mempunyai nilai ekonomi tinggi;
- Meningkatkan pendapatan devisa bagi negara melalui perdagangan internasional; dan
- Meningkatkan kesempatan kerja, kepariwisataan dan investasi.
Selain
itu fungsi dari diadakannya KEK, antara lain:[7]
- menjadi pusat kegiatan ekonomi dan terkait dengan wilayah pengembangan lainnya;
- harus mampu memberikan manfaat bagi kawasan lain;
- KEK bukan merupakan kawasan tertutup sehingga memberikan efek ganda terhadap perekonomian lokal;
- Harus dapat mendorong pertumbuhan industri pendukung di sekitar kawasan.
Bagi
kalangan investor asing, pentingnya masalah legalitas akan menjadi ujung tombak
bagi keberhasilan pengelolaan suatu kawasan. Biasanya calon investor akan
melakukan perhitungan matematis dan perhitungan bisnis bila mereka melakukan
suatu kegiatan bisnis pada suatu kawasan. Kepentingan para investor dapat
termotivasi apabila kawasan perdagangan tersebut mempunyai pengakuan hukum (legal
recognition) ke luar atau ke dalam.
Permasalahan
Amanat
untuk pembentukan RUU KEK telah digariskan dalam Pasal 31 ayat (3) UU No 25
Tahun 2007 tentang Penanaman Modal dan menjadi salah satu RUU yang
diprioritaskan pada tahun 2008. Apakah mudah untuk menyusun draft RUU KEK,
mengingat banyak kepentingan antar instansi pemerintah yang harus diatur dalam
RUU KEK tersebut.
Hal
mendasar yang berhubungan dengan KEK yaitu kedudukan KEK sebagai bagian kawasan
khusus, karena saat ini sudah ada kawasan khusus yang bernama Kawasan
Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas (Free Trade Zone), apakah KEK
sebagai bagian dari FTZ atau FTZ sebagai bagian dari KEK atau KEK dan FTZ
adalah dua kawasan khusus yang berbeda. Hal ini bisa dilihat dari sejumlah
berita di media massa yang masih mencampuradukan antara KEK dan FTZ.
Di
sisi lain pemerintah pusat telah menunjuk daerah Batam, Bintan dan Karimun
sebagai percontohan daerah yang akan dijadikan kawasan ekonomi khusus. Hal ini
sesuai dengan adanya kerjasama antara Pemerintah RI dan Pemerintah Singapura
pada Juni 2006 yang lalu. Untuk menindaklanjuti MOU tersebut pemerintah telah
mengundangkan PP No 46, 47 dan 48 Tahun 2007 tentang Perdagangan Bebas dan
Pelabuhan Bebas Batam, Bintan dan Karimun. Tentu untuk menindaklanjuti
kerjasama tersebut diperlukan aturan pelaksanaannya, baik aturan teknis ataupun
aturan administrasi yang akan dijadikan alat atau parameter bagi pemerintah
daerah setempat untuk menindaklanjuti kerjasama tersebut dalam kerangka
persiapan daerah tersebut sebagai bagian dari KEK.
Analisa
FTZ
sebagai bagian KEK atau KEK sebagai bagian FTZ.
Jauh
sebelum gaung KEK terdengar, sebenarnya cikal bakal KEK sudah ada dengan
diundangkannya UU No 36 Tahun 2000 tentang Penetapan Perppu No 1 Tahun 2000
tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Menjadi Undang-Undang. UU
No 36 Tahun 2000 kemudian diubah dengan UU No 44 Tahun 2007 tentang Penetapan
Perppu No 1 Tahun 2007 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas
Menjadi Undang-Undang. Di antara kedua UU tersebut ada 2 nuansa yang berbeda,
bila di UU No 36 Tahun 2000, khususnya pada Pasal 4 Kawasan Perdagangan dan
Pelabuhan Bebas merupakan wilayah hukum Negara Kesatuan RI yang pembentukkannya
dengan Undang-Undang, maka di UU No 44 Tahun 2007, ketentuan pembentukan
Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas, cukup diatur dengan Peraturan
Pemerintah. Jadi ada perbedaan prinsip, yaitu diatur dengan UU diganti menjadi
diatur dengan PP. Hal ini terjadi karena sebelum Perppu diajukan ke DPR,
pemerintah sudah mengundangkan PP No 46 Tahun 2007 tentang Kawasan Perdagangan Bebas
dan Pelabuhan Bebas Batam, jo PP No 47 Tahun 2007 tentang Kawasan Perdagangan
Bebas dan Pelabuhan Bebas Bintan jo PP No 48 Tahun 2007 Kawasan Perdagangan
Bebas dan Pelabuhan Bebas Karimun. Jadi pengajuan Perppu No 1 Tahun 2007
semacam justifikasi atas diundangkannya PP No 46 – 48 Tahun 2007.
Problematik
FTZ vs KEK harus dilihat dari kerangka perbandingan kawasan pengembangan
perekonomian yang ada di dunia saat ini. Untuk menggambarkan posisi kawasan
tersebut dapat dilihat dalam tabel 1 di bawah ini, serta perbandingan
konsep FTZ dan KEK menurut peraturan perundang-undangan (Tabel 2)
Bila
dilihat di antara tabel tersebut, maka keberadaan pengaturan KEK dalam sistem
hukum nasional ada sedikit perbedaan dengan best practise yang ada
di dunia ini. Perbedaan mendasar yaitu tentang pengertian atau definisi dari
KEK/SEZ, bila dalam ketentuan best practices disebutkan Suatu wilayah
yang luas tanpa pembatas yang jelas (pagar) yang di dalamnya terdapat
wilayah-wilayah tertentu untuk kegiatan perekonomian, berbeda dengan
pengertian yang diatur dalam draft RUU KEK Pasal 1 angka 1, yaitu Kawasan
dengan batas-batas tertentu dalam wilayah hukum Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang ditetapkan untuk menyelenggarakan fungsi-fungsi perekonomian
yang bersifat khusus dan memperoleh fasilitas tertentu.
Problematik
apakah FTZ bagian dari KEK atau sebaliknya masih tampak dari sejumlah berita
atau diskusi tentang kedua hal tersebut. Masing-masing pihak berpandangan
menurut pengertian sendiri tanpa melihat literatur yang berhubungan dengan FTZ
dan KEK tersebut. Bila kedua hal ini didikotomikan, maka akan muncul pandangan
sebagai berikut :
FTZ
merupakan kawasan khusus yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Hal
ini terbukti dengan diundangkannya UU No 44 Tahun 2007 jo UU No 36 Tahun 2000
tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas jo PP No 46 – 48 Tahun
2007 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam, Bintan dan
Karimun.
Menurut
model pengembangan perekonomian suatu kawasan, maka SEZ/KEK terbagi atas : a)
FTZ, b) Bonded Zone, c) Export Processing Zone dan d) Kawasan Industri Terpadu.
Dalam RUU KEK[8]
disebutkan bahwa KEK dapat dibentuk terdiri dari satu atau kombinasi dari : a)
Kawasan Pengolahan Eksport; b) Tempat Penimbunan Berikat; c) Kawasan Industri;
d) Kawasan Pengembangan Teknologi; e) Kawasan Jasa Keuangan; f) Kawasan Ekonomi
lainnya. Dalam RUU KEK[9],
suatu lokasi dapat diusulkan untuk menjadi KEK jika memenuhi kriteria dasar
sebagai berikut :
- Ada kesanggupan dari Pemerintah Provinsi/Kabupaten/Kota yang bersangkutan untuk melaksanakan pengelolaan KEK;
- Sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah, ditetapkan sebagai kawasan budidaya dan tidak berpotensi mengganggu kawasan lindung;
- Terletak pada posisi yang strategis yaitu dekat dengan jalur perdagangan internasional atau berdekatan dengan jalur pelayaran internasional di Indonesia atau pada wilayah potensi sumber daya unggulan;
- Telah tersedia dukungan infrastruktur dan kemungkinan pengembangannya;
- Tersedia lahan untuk pengembangan yang diusulkan;
- Memiliki batas yang jelas.
Selain
pengertian atau definisi di atas, maka hal terpenting yang menjadi nilai jual
bagi kalangan investor adalah kemudahan atau fasilitas yang diberikan oleh
negara terhadap konsepsi KEK tersebut. Fasilitas atau kemudahan merupakan
faktor yang akan menarik kalangan investor, misalnya kemudahan apa yang akan
diterima oleh investor seperti adanya pelayanan satu atap atau pelayanan satu
pintu yang diberikan oleh badan pengelola atau badan pengusahaan KEK dengan
standar dunia (the world class services). Melalui kemudahan ini
diharapkan para investor hanya cukup datang ke badan pengelola untuk mengurus
segala izin yang berhubungan dengan kegiatan investasi tersebut. Di sisi lain
fasilitas atau insentif yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan kepada
para investor, jadi ada semacam keistimewaan atau perlakukan khusus di bidang
tertentu yang berbeda di luar daerah KEK tersebut, seperti adanya tax
holiday untuk jangka waktu tertentu, penangguhan atau pembebasan bea masuk
termasuk di bidang perpajakan.
Dalam
RUU KEK disebutkan bahwa UU akan memberikan fasilitas tertentu dalam bentuk:
a.
Fasilitas tertentu, antara lain :
- Perpajakan (Pasal 19);
- Kepabeanan (Pasal 20-21);
- Perdagangan (Pasal 22);
- Pertanahan (Pasal 24);
- Keimigrasian (Pasa 26); dan
- Ketenagakerjaan (Pasal 29- Pasal 31).
b.
Fasilitas non fiskal (Pasal 25), berupa kemudahan dan keringanan, antara
lain :
- bidang perijinan usaha;
- kegiatan usaha;
- perbankan;
- permodalan;
- perindustrian;
- perdagangan;
- kepelabuhan, dan
- keamanan.
Terhadap
fasilitas tertentu fasilitas non fiskal di atas perlu disinkronisasi dan
harmonisasikan dengan peraturan perundang-undangan lainnya, sebab jangan sampai
pengalaman UU No 25 Tahun 2007 khususnya tentang pertanahan dibatalkan oleh
Mahkamah Konstitusi.
Akhirnya
untuk membuat konsep KEK di Indonesia berjalan mulus dan sesuai dengan standar
dunia, pemerintah telah membentuk Tim Nasional Pengembangan Kawasan Ekonomi
Khusus di Indonesia (Timnas KEKI) berdasarkan Surat Keputusan Menko
Perekonomian No Kep-21/M.EKON/03/2006 tertanggal 24 Maret 2006. Timnas KEKI
dalam laporan pendahuluan telah menetapkan 12 kriteria untuk menjadikan kawasan
sebagai kawasan ekonomi khusus, yaitu :[10]
- KEKI harus diusulkan sendiri oleh pemda dan memperoleh komitmen kuat dari Pemda bersangkutan. Komitmen itu berupa kesediaan Pemda untuk menyerahkan pengelolaan kawasan yagn diusulkan kepada manajemen khusus;
- Kepastian kebijakan, meliputi dukungan aspek legal dalam pengembangan kegiatan ekonomi, baik kebijakan fiskal ataupun non fiskal;
- Merupakan pusat kegiatan wilayah yang memenuhi RTRW. Selain itu telah ditetapkan sebagai kawasan perindustrian atau oleh UU telah ditetapkan sebagai wilayah dengan perlakuan khusus;
- Tidak harus satu kesatuan wilayah, namun merupakan kawasan yang relatif telah berkembang dan memiliki keterkaitan dengan wilayah pengembangan lain;
- Sudah tersedia fasilitas infrastruktur pendukung;
- Tersedia lahan untuk industri minimal 10 hektar ditambah lahan untuk perluasannya;
- Tersedia tenaga kerja yang terlatih di sekitar lokasi;
- Lokasi harus memberikan dampak ekonomi yang signifikan;
- Lokasi tidak terlalu jauh dengan pelabuhan dan bandara internasional. Selain itu secara geopolitis wilayah KEKI bersaing dengan negara lain atau bisa menjadi komplementer dari sentra produksi di negara lain;
- Secara ekonomi strategis, dekat dengan lokasi pasar hasil produksi, tidak jauh dari sumber bahan baku atau pusat distribusi internasional;
- Tidak mengganggu daerah konservasi alam; dan
- Memiliki batas yang jelas baik batas alam maupun batas buatan, serta kawasan yang mudah dikontrol keamanannya, sehingga mencegah upaya penyelundupan.
TABEL 1
PERBANDINGAN KAWASAN
PENGEMBANGAN PEREKONOMIAN
No
|
PERIHAL
|
SPECIAL ECONOMI ZONE
|
FREE TRADE ZONE
|
BONDED Z0NE
|
INDUSTRIAL ZONE
|
1
|
Definisi
|
Suatu wilayah yang luas tanpa
pembatas yang jelas (pagar) yang di dalamnya terdapat wilayah-wilayah
tertentu untuk kegiatan perekonomian
|
Kawasan yang
terisolasi dan berlokasi dekat dengan pelabuhan laut dan bandara, dimana
barang impor akan dipindahkan, disimpan, dikemas ulang atau proses lainnya
bebas dari pengenaan bea masuk, PPN, PPnBM dan cukai.
|
Bangunan atau kawasan dengan
batas-batas tertentu yang didalamnya dilakukan kegiatan usaha industri
pengolahan barang dan bahan, rancang bangun, rekayasa, penyortiran,
pemeriksaan awal atau akhir, pengepakan atas barang asal impor atau lokal
yang hasilnya untuk ekspor.
|
Kawasan tempat pemusatan
kegiatan industri yang dilengkapi dengan saraa dan prasarana penunjang yang
dikembangkan dan dikelola oleh perusahaan kawasan industri.
|
2
|
Wilayah
|
Wilayah luas dan tidak
terbatas
|
Wilayahnya tertentu dan
terbatas.
|
Wilayahnya tertentu dan
terbatas
|
Wilayahnya tertentu dan
terbatas.
|
3.
|
Kelembagaan
|
|
|
|
1. BUMN;
2. Swasta yang berbadan hukum.
|
4.
|
Fasilitas
|
Di RRC, fasiltias kepabeanan
diberikan dalam bentuk pembebasan bea dan pajak perdagangan. Di bidang
perpajakan PPh korporasi 15%
Di India, fasiltias kepabeanan
dalam bentuk single windows clearance, tidak memerlukan izin usaha importir,
post audit system. Di bidang perpajakan diberikan tax holiday, 100% di 5
tahun pertama, 50% di 5 tahun berikutnya.
Di Filipina, fasilitas
kepabeanan dalam bentuk bebas pajak dan bea masuk. Di bidang perpajakan
adanya fasilitas penangguhan pajak untuk pembelian barang modal dan bibit
dari dalam negeri serta PPH 5% atas penghasilan kotor,
|
|
Penangguhan Bea Masuk tidak
dipungut PPN, PPnBM dan PPh Pasal 22
|
Tidak ada fasiltas fiskal
|
5.
|
Kegiatan
|
|
Kegiatan usaha di bidang
perekonomian yang meliputi industri, perdagangan, perhubungan, perbankan,
asuransi, telekomunikasi, promosi, maritim, perikanan dan bidang lain dalam
rangka kegiatan ekspor.
|
Industri yang berorientasi
ekspor
|
Kegiatan industri pengolahan
baik untuk ekspor maupun pasar domestik.
|
6.
|
Prinsip dan Syarat
|
Ada Rencana Tata Ruang Wilayah
|
|
|
|
Sumber : diambil dari
beberapa sumber dan peraturan perundang-undangan dan dianalisis oleh penulis.
Tabel 2
Perbandingan KEK dan FTZ
menurut peraturan perundang-undangan
No
|
Perihal
|
UU No 44 Tahun 2007
Jo UU No 36 Tahun 2000
|
PP 46,47 dan 48 Tahun
2007
|
RUU KEK (draft 3
Januari 2008)
|
1
|
Definisi
|
Suatu kawasan yang berasda
dalam wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang terpisah dari
daerah pabean, sehingga bebas dari pengenaan bea masuk, PPN dan PPnBM dan
Cukai.
|
Tidak diatur secara tegas,
karena mengacu kepada UU No 36 Tahun 2000
|
Kawasan dengan batas-batas
tertentu dalam wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ditetapkan
untuk menyelenggarakan fungsi-fungsi perekonomian yang bersifat khusus dan
memperoleh fasilitas tertentu
|
2
|
Wilayah
|
UU 36 Tahun 2000 :
Batas Kawasan Perdagangan
Bebas dan Pelabuhan Bebas ditetapkan dalam UU
UU No 44 Tahun 2007 :
Batas Kawasan Perdagangan
Bebas dan Pelabuhan Bebas ditetapkan dalam PP.
|
Wilayah FTZ Batam :
Pulau Batam, Pulau Tonton,
Pulau Setokok, Pulau Nipah, Pulau Rempang, Pulau Galang dan Pulau Baru
Wilayah FTZ Bintan :
Sebagian wilayah Kab Bintan
serta seluruh Kawasan Industri Galang Batang dan Maritim serta Pulau Lobam;
Sebagian wilayag Kota Tanjung Pinang yang meliputi Kawasan Industri
Senggarang dan Dompang Barat.
FTZ Karimun :
Sebagian wilayah Pulau Karimun
dan seluruh Pulau Karimun Anak.
|
Kawasan tertentu dengan batas tertentu
|
3
|
Kelembagaan
|
|
FTZ Batam :
Badan Pengusahaan Perdagangan
Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam (paling lambat 31 Desember 2008, sebelum
terbentuknya Badan ini, dilakukan bersama antara Pemerintah Kota Batam dan
Badan Otorita Batam)
FTZ Bintan :
Badan Pengusahaan Perdagangan
Bebas dan Pelabuhan Bebas Bintan (paling lambat 20 Agustus 2008)
Badan Pengusahaan Perdagangan
Bebas dan Pelabuhan Bebas Karimun (paling lambat 20 Agustus 2008).
|
|
4
|
Fasilitas
|
Fasilitas bebas:
Pemasukan barang yang
berhubungan dengan kegiatan usahanya.
Pemasukan dan pengeluaran
barang melalui bandar udara dan pelabhan yang ditunjuk dan berada di bawah
pengawasan pabean.
|
Fasiltias sama dengan UU No 36
Tahun 2000 jo UU No 44 Tahun 2007
|
Fasilitas tertentu, antara
lain :
1.Perpajakan;
2 Kepabeanan;
3. Pertanahan;
4. Keimigrasian; dan
5. Ketenagakerjaan.
Fasilitas non fiskal, berupa
kemudahan dan keringanan, antara lain :
|
5.
|
Kegiatan
|
|
FTZ BBK :
Sektor Perdagangan, maritim,
industri, perhubungan, perbankan, pariwisata dan bidang lainnya yang akan
ditetapkan dengan PP.
|
Kegiatan usaha di bidang :
|
6.
|
Prinsip dan Syarat
|
b. penyediaan dan pengembangan
prasarana dan sarana air dan sumber air; prasarana dan sarana perhubungan,
termasuk pelabuhan laut dan bandar udara; bangunan dan jaringan listrik; pos
dan telekomunikasi, serta prasarana dan sarana lainnya.
|
Prinsip dan syarata sama
dengan UU No 36 Tahun 2000 jo UU No 44 Tahun 2007
|
|
Sumber : Peraturan
perundang-undangan dan dianalisis oleh penulis
Kesiapan daerah BBK dalam
kegiatan KEK
Batam, Bintan dan Karimun
sebagai proyek percontohan KEK sebagaimana MOU antara Pemerintah RI dan
Pemerintah Singapura pada tanggal 25 Juni 2006 tetap terus dilanjutkan walaupun
instrumen hukum yang tegas belum diundangkan oleh pemerintah. Alasan utama
pemerintah[11]
menetapkan BBK sebagai KEK karena kondisi infrastruktur yang sudah memadai,
besarnya jumlah investasi dalam dan luar negeri di kawasan itu dan lokasi
geografis yang strategis. Artinya daerah itu sudah siap untuk dikembangkan
sebagai KEKI dalam waktu singkat.
Bahkan kajian akademis[12]
tentang kesiapan Batam sebagai Kawasan Ekonomi Khusus telah diserahkan kepada
pemerintah sebagai bahan atau narasumber untuk kelak menjadikan Batam sebagai
KEK. Dalam laporan[13]
tersebut disebutkan bahwa untuk menjadikan Batam sebagai suatu kawasan dalam
kategori kelas dunia, maka Batam harus memberikan pelayanan kelas dunia, baik
dalam perijinan, perpajakan dan kepabeanan. Selain itu kawasan ini juga dapat
memberikan fasilitas keamanan dunia, memiliki infrastruktur kelas dunia, baik
untuk fasilitas jalan raya, pelabuhan, airport, transportasi, telekomunikasi,
listrik dan baik.
Walaupun MOU sdh ditandatangani
dan sudah ada kajian akademis tentang Batam sebagai proyek percontohan KEK,
tetapi pelaksanaannya masih terhambat terutama belum jelasnya insentif yang
akan diberikan kepada KEK BBK tersebut. Padahal pada saat penandatanganan MOU
tersebut, Presiden sudah menjanjikan akan memberikan fasilitas fiskal dan non
fiskal kepada calon investor. Adapun fasilitas yang akan dinikmati antara lain
di sektor perpajakan, investor yang berinvestasi di kawasan ini akan memperoleh
pembebasan pajak dalam jangka waktu minimal lima tahun dan diskon pajak untuk
jenis industri tertentu, di sisi bea dan cukai, barang yang keluar masuk
pelabuhan ke lokasi usaha atau sebaliknya akan dipermudah dengan pemeriksaan di
lokasi usaha, serta di bidang izin investasi akan diberikan oleh badan
pengusahaan kawasan dengan pola layanan satu atap di setiap lokasi.
Ketidak jelasan terhadap konsep
KEK juga tejadi untuk menentukan daerah di BBK yang akan dijadikan KEK,
misalnya di Bintan dan Karimun kawasan itu harus steril serta Badan Kawasan dan
Badan Pengusahaannya harus jelas, ungkap Bambang Susanto[14]
selaku Sekretaris Tim Nasional KEK Indonesia. Bintan dan Karimun akan
diperlakukan berbeda dengan Batam, sebab kedua kawasan ini akan dikembangkan
dengan sistem enclave, yakni ada beberapa kawasan ekonomi khusus yang
dikelilingi area non ekonomi khusus, sementara Batam berstatus KEK seluruhnya.
Bagi pemda BBK dengan
ditunjuknya daerah mereka sebagai proyek percontohan KEK, maka pemda diberikan
keleluasaan atau diberi ruang yang lebih luas di dalam mengelola hasil
kesepakatan kerjasama ekonomi tersebut, tetapi untuk merealisasikan terhadap
kesempatan tersebut tidaklah mudah. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan
pemda untuk menindaklanjuti kerjasama tersebut, antara lain :[15]
- Kesiapan aparatur di daerah dalam menyikapi masuknya investasi di daerah mereka.
- Kesiapan perangkat pendukung proses masuknya investasi; dan
- Kesiapan masyarakat yang bermukim di daerah tersebut dengan masuknya kegiatan investasi model Singapora dengan pola kerja seperti di Singapura.
Dipilihnya BBK sebagai KEK
memberikan dorongan positif pada pengembangan wilayah Provinsi Kepulauan
Riau, akan tetapi di sisi lain, provinsi-provonsi lain merasa iri
hati dengan situasi tersebut. Apalagi provinsi-provinsi lain tidak
mempunyai kriteria lengkap seperti yang terjadi pada KEK di BBK.[16]
Untuk itu hendaknya proyek percontohan BBK sebagai KEK harus didukung secara
maksimal oleh semua pihak, khususnya oleh pemerintah pusat, sedangkan keinginan
daerah lain untuk membentuk KEK di daerahnya harus dilakukan melalui kajian
yang cukup komprehensif, karena pembentukan suatu daerah sebagai KEK memerlukan
biaya yang cukup besar dan dampak sosial bagi masyarakat di daerah tersebut.
Jadi kalaupun ada keinginan pemerintah untuk membentuk 112 KEK sebagaimana
diungkapkan oleh Hermanto Dardak selaku Direktur Jenderal Penataan Ruang
Departemen Pekerjaan Umum[17],
perlu diperhatikan seksama sebab jangan sampai model pemekaran wilayah yang ada
saat ini dikembangkan oleh daerah dengan mengembangkan kawasan daerahnya
menjadi KEK
Akhirnya untuk menjadikan BBK
sebagai KEK, maka nantinya payung hukum atas eksistensi BBK sebagai KEK harus
benar-benar diatur secara komprehensif dalam RUU KEK mendatang. Jangan sampai
pengalaman FTZ di Batam dalam sistem hukum terulang kembali di KEK.
Kekhawatiran ini wajar saja mengingat pernyataan Menteri Perdagangan Mari Eka
Pangestu[18]
yang mengatakan bahwa terkait dengan belum jelasnya peraturan bagi
invesotr yang berinvestasi di KEK, yang masih menuggu kesiapan instrumen atas
KEK tersebut. Kekhwatiran senada juga diungkapkan oleh Kepala Pusat Penelitian
Pengembangan Sistem Hukum Nasional Departemen Hukumdan HAM Neltje Saly[19]
yang mengatakan bahwa dua kendala besar yang harus dibenahi yaitu aspek
legalitas dan kualitas kelembagaan pemerintah.
Untuk menjadikan BBK sebagai
kawasan khusus yang bernama KEK, maka percepatan untuk membentuk RUU KEK harus
segera dilakukan sebab dengan sudah dijadikan BBK sebagai proyek percontohan,
maka pendulum penentu berhasil atau tidak berhasilnya program KEK ini berada
kepada pengaturan KEK dalam sistem hukum nasional, khususnya terbentuknya RUU
KEK. Apalagi RUU KEK sudah menjadi prioritas program legislasi nasional tahun
2008. Maka sudah saatnya perbedaan kepentingan atas pelaksanaan KEK dapat
diakhiri dan semua pihak mau duduk bersama untuk mengatur kepentingan mereka
dalam RUU, sehingga dalam waktu yang tidak lama RUU KEK dapat segera dibahas di
DPR-RI.
Penutup
UU No 25 Tahun 2007 tentang
Penanaman Modal telah diundangkan dan perlu ada tindak lanjut atau implementasi
dari UU ini, termasuk tindak lanjut dari pengaturan Bab XIV tentang Kawasan
Ekonomi Khusus yang perlu diatur kembali dalam suatu RUU KEK. RUU KEK sudah
diprioritaskan menjadi salah satu RUU dalam program legislasi nasional tahun
2008. Untuk itu RUU KEK perlu segera mengatur segala permasalahan yang
berhubungan dengan kawasan khusus di bidang perekonomian. Sehingga perlu ada
koordinasi antara instansi pemerintah yang berkepentingan dengan kawasan
ekonomi khusus tersebut, sehingga nantinya tidak ada tumpang tindih pengaturan
kepentingan instansi pemerintah tersebut dalam kawasan ekonomi tersebut.
Walaupun saat ini daerah Batam,
Bintan dan Karimun sudah dijadikan proyek percontohan dalam KEK tersebut, maka
kesiapan pemerintah daerah dalam menerima kegiatan investasi di daerah tersebut
perlu diperhatikan seksama, terutama jangan sampai kepentingan daerah
dikorbankan dengan masuknya investor asing ke daerah tersebut. Untuk itu perlu
ada koordinasi antara pemerintah daerah dan pemerintah pusat dalam menyiapkan
instrumen hukum dan sarana prasarana dalam rangka menunjang kegiatan investasi
di kawasan tersebut.
Salah satu hal yang berperan
dalam kegiatan investasi di daerah KEK adanya Dewan Kawasan dan Badan
Pengusahaan KEK, untuk itu kiranya perlu segera dipersiapkan sarana dan
prasarana bagi terbentuknya Dewan Kawasan dan Badan Pengusahaan KEK. Kalaupun
saat ini sudah ada Otorita Pengembangan Indusrri Pulau Batam, hendaknya Otorita
Batam ini selayaknya ditingkatkan menjadi Badan Pengusahaan KEK di Batam,
sehingga perangkat keras dan perangka lunak yang sudah ada selama ini dapat
dilanjutkan. Terhadap pemerintah daerah setempat yang wilayahnya menjadi bagian
KEK, maka perlu ada koordinasi yang tegas antara pemerintah daerah setempat
dengan Dewan Kawasan dan Badan Pengusahaan, sehingga jelas tugas pokok dan
fungsi di antara lembaga-lembaga tersebut.
important
BalasHapusthanks before
BalasHapus