STRATEGI POLITIK MEMENANGKAN
PILKADA SECARA DAMAI
Perhelatan
pemilihan kepala pemerintahan (Pilkada) untuk provinsi dan pemilihan kepala
daerah (pilkada) untuk kabupaten/kota di Aceh menurut kabar terakhir akan
digelar pada akhir tahun ini. Kalau tidak ada perdebatan baru seputar
Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA), dipastikan pesta demokrasi itu akan
bisa dikejar sesuai jadwal. Namun, kalau perdebatan seputar materi UUPA masih
berlangsung, diprediksikan pilkada akan digelar tahun 2007.
Menjelang pesta demokrasi tersebut, bursa kandidat terus bergerak. Hampir
setiap saat muncul kabar dan isu baru seputar calon-calon dan kemungkinan
koalisi. Tetapi sejauh ini belum tampak arus kuat di tingkat akar rumput kepada
siapa suara politik bergerak. Semua masih meraba sikap dan perilaku masyarakat
pemilih yang masih serba berubah.
Walaupun demikian, para kandidat yang telah memutuskan untuk maju untuk
pilkada, telah melakukan berbagai kegiatan kampanye, baik bersifat langsung
maupun tidak langsung. Para tim sukses mulai bergerilya dari kota hingga ke
pelosok desa, dari sekolah hingga ke dayah-dayah. Semua membawa pesan politik
yang sama, yaitu mempengaruhi tokoh dan masyarakat pemilih.
Tulisan ini akan berusaha memberi gambaran terhadap pola-pola kampanye yang
dilakukan oleh kandidat dan tim sukses yang sempat penulis amati secara
langsung maupun tidak langsung serta memberikan saran supaya rancangan skenario
politik perebutan kekuasaan tidak merusak proses perdamaian.
Komunikasi
Politik
Komunikasi politik di negara-negara sedang berkembang seperti Indonesia biasanya
menggunakan dua sistem komunikasi dominan, yaitu media massa modern dan sistem
komunikasi tradisional (Schramm 1964). Untuk mempengaruhi masyarakat, maka
sangat perlu untuk memilih sarana komunikasi yang tepat, sesuai dengan
keperluan dan kepada siapa pesan politik ingin disampaikan.
Untuk masyarakat perkotaan kelas menengah, komunikasi politik melalui media
massa sangat efektif karena pola hidup mereka yang sibuk tidak memberi mereka
peluang untuk melakukan komunikasi langsung dengan orang lain. Apalagi kalau
mereka tidak punya kepentingan langsung dengan sang komunikator. Bagi mereka,
media massa cetak dan elektronik merupakan sarana paling efektif untuk
mengetahui dan menyampaikan umpan balik setiap pesan politik yang ada.
Sementara untuk masyarakat pedesaan, apalagi masyarakat pedalaman yang secara
literal tidak memiliki tradisi baca, pesan politik hanya bisa disampaikan oleh
sistem komunikasi tradisional. Dalam konteks ini, seperti diungkap oleh Astrid
Susanto (1978), komunikasi yang paling efektif adalah dengan menggunakan sistem
komunikasi lokal yang sesuai dengan budaya mereka. Pendekatan-pendekatan
interpersonal dengan tokoh-tokoh gampong yang menjadi pengatur lalu lintas
opini menjadi kunci keberhasilan dalam sistem komunikasi tradisional ini.
Dalam kultur masyarakat Aceh, tokoh-tokoh gampong dan ulama masih menjadi
pemimpin opini di tingkat masyarakat yang suaranya masih didengar. Oleh sebab
itu, tidak heran bila banyak pasangan kandidat dan tim sukses melakukan
berbagai pendekatan dan strategi untuk mempengaruhi opini sang tokoh, dengan
harapan tokoh tersebut akan menggunakan pengaruhnya untuk memilih sang
kandidat. Pola-pola ini merupakan pola-pola umum yang digunakan hampir oleh
semua kandidat dalam bursa politik di Aceh.
Penggunaan media massa untuk kepentingan kampanye bisa dikatakan masih sangat
terbatas. Hanya beberapa kandidat yang mengiklankan dirinya di tabloid,
internet dan koran lokal di Aceh. Selebihnya mereka lebih memilih untuk mengkampanyekan
dirinya melalui kalender, stiker, dan spanduk yang biayanya jauh lebih murah
dan bertahan lama.
Tidak dipilihnya media massa sebagai kampanye terbuka sangat terkait dengan; pertama,
belum dimulainya putaran kampanye resmi, atau kedua, karena kampanye melalui
media massa di samping mahal, juga memiliki daya tahan yang terbatas. Namun,
boleh jadi penggunaan media massa akan dipacu menjelang hari H pemilihan,
karena jarak jangkau media massa yang luas, apalagi media massa cetak dengan
oplah besar diharapkan bisa mempengaruhi sikap akhir pemilih.
Menurut Suwardi (2004), sebagai agen politik, media massa bisa melakukan proses
pengemasan pesan (framing of political messages) dan proses inilah yang
sebenarnya membuat sebuah peristiwa atau aktor politik memiliki citra tertentu.
Pencitraan politik seringkali sangat efektif untuk menaikkan pamor atau
menghancurkan pamor aktor politik. Namun masalahnya, media yang menjadi agen
politik harus meninggalkan objektivitasnya dan memanipulasi fakta sebagai alat
untuk kepentingan politik.
Sejauh ini, pola komunikasi tradisional masih menjadi pilihan strategi dominan
oleh para kandidat dan tim sukses. Dayah dan ulama merupakan sasaran kampanye
paling strategis, sehingga hampir setiap saat dayah dikunjungi oleh para
kandidat. Bahkan kadang-kadang jadwalnya bertabrakan dengan jadwal kandidat
lain. Keyakinan para kandidat dan tim sukses terhadap pengaruh ulama menjadi
penyebab kenapa dayah dipilih sebagai arena kampanye. Sebagai bagian dari
sistem sosial masyarakat Aceh, dayah masih dipandang penting dalam sistem
kepercayaan masyarakat termasuk dalam persoalan politik. Namun, karena hal itu,
tak urung dayah dikritik menjadi arena politik praktis.
Menjadikan dayah dan ulama sebagai jalan menuju kursi kekuasaan politik tidak
sepenuhnya salah. Sah-sah saja setiap orang atau lembaga menggunakan haknya
untuk berpolitik. Namun yang disayangkan adalah apabila dayah dan ulama
dimanipulasi untuk keperluan politik praktis jangka pendek yang bisa
mengorbankan citra dayah dan ulama secara mayoritas. Karena politik tidak jauh
dari praktik “siapa menguasai siapa, dan siapa memanfaatkan siapa”.
Selain dayah dan ulama, para kandidat juga berupaya memperoleh dukungan dari
militer dan GAM. Dua lembaga ini memiliki pengaruh langsung terhadap masyarakat
baik secara sukarela maupun karena takut. Pendekatan-pendekatan personal
dilakukan kepada pejabat militer dan para petinggi GAM. Ini sudah menjadi
rahasia umum.
Strategi
Politik
Dalam bukunya Strategi Politik (2003) Peter Schoder mengatakan bahwa “kita
tidak mungkin disukai oleh semua orang”. Kampanye politik bukanlah situasi
perang, tetapi, kata Schoder, “setiap ide politik yang dikemukakan oleh
seseorang atau sebuah kelompok akan memecah masyarakat pada saat ide itu
diumumkan”.
Politik memang bukan perang. Tetapi efek dari situasi yang diciptakan oleh
kampanye politik bisa berubah menjadi perang ketika kampanye politik dijadikan
sebagai arena untuk membantai lawan politik tanpa etika dan sopan santun
politik. Kampanye politik merupakan sebuah upaya untuk mempengaruhi pemilih
supaya menentukan pilihan sesuai dengan tujuan sang kandidat. Oleh sebab itu,
sering kali kampanye politik diisi oleh penyerangan terhadap pribadi-pribadi
kandidat dan pendukungnya dengan membuka keburukan-keburukan dari segala
dimensi.
Black campaign (kampanye negatif) merupakan trend universal di
gelanggang politik dunia. Di negara-negara yang demokrasinya sudah matang sekalipun,
kampanye terhadap keburukan-keburukan lawan sering dilakukan. Namun, dalam
konteks Aceh yang memiliki kultur Islam yang kuat, membuka keburukan-keburukan
lawan masih belum bisa diterima secara terbuka, kecuali dalam kasus-kasus yang
merugikan publik secara luas, seperti kasus korupsi.
Kasus-kasus kerusuhan paska pilkada di berbagai daerah di Indonesia di era
reformasi merupakan fakta bahwa politik bisa bertransformasi menjadi perang
ketika benturan ide dan kepentingan politik diserahkan kepada massa yang
anarkis. Pemanfaatan berbagai sumber daya politik yang mengabaikan aturan dan
fatsun politik menjadi asal mula berubahnya politik menjadi perang.
Hasil penelitian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) tahun 2005
menunjukkan bahwa tiga faktor yang menyebabkan konflik antar elit politik, yang
kadang bisa berubah menjadi konflik fisik antar massa pendukung. Faktor itu
meliputi, pertama, pluralisme identitas dan beragamnya kepentingan
politik serta sumber daya politik yang terbatas, kedua, pergeseran patronase
politik di tingkat lokal menyebabkan terjadinya persaingan politik antar elit
lokal dalam mengisi jabatan-jabatan kekuasaan, dan ketiga, transisi politik dan
intervensi elit nasional yang bisa membuka pertarungan elit menjadi pertarungan
terbuka.
Beberapa peristiwa politik di Aceh paska pergantian penjabat bupati/walikota,
menunjukkan bahwa konflik antar elit benar-benar terjadi. Dalam kasus
pergantian pejabat dan kepala dinas, sangat terasa disebabkan oleh terjadinya
pergeseran patronase politik. Pejabat-pejabat lama yang dianggap menjadi kubu
kandidat lain dengan segera diganti setelah penjabat baru dilantik. Pergeseran
patronase politik ini juga menjadi ajang balas dendam untuk membabat kubu
politik lawan.
Untuk mengatur supaya kampanye politik dan perebutan kekuasaan politik di Aceh
tidak menjadi ajang konflik yang merusak perdamaian, maka diperlukan sebuah
kesadaran dari semua kandidat dan tim sukses untuk merancang skenario politik
yang matang dan damai supaya transfer kekuasaan di masa damai ini bisa
berlangsung secara adil, damai, jujur dan demokratis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar