TEORI KONFLIK
Tujuan bagian ini adalah untuk membahas tema-tema dan aliran-aliran
pemikiran teori konflik. Hal ini dilakukan untuk memberikan batasan ruang
lingkup dan ragam konflik sehingga konflik sebagai fenomena social dapat
diletakkan dalam perspektif yang tepat. Tinjauan teori konflik akan
mengetengahkan sejumlah pengamatan. Pertama, ada banyak sekali literatur yang
ditulis tentang sifat dan teori konflik, terutama yang berhubungan dengan
peperangan. Kedua, kurangnya kesepakatan (consensus) antara pandangan
kontemporer dan historis mengenai konflik manusia. Ketiga, di antara literature
yang sangat erat kaitannya (relevan) dengan para ahli teori ilmu politik, ada
beberapa dikotomi yang mengarah ke pencarian paradigma yang dominan.
Dikotomi pertama berkenaan dengan sifat konflik. Dougherty dan Pfaltzgraff
menjelaskan masalah itu:”Para ilmuwan social terbagi dalam persoalan apakah
konflik social harus dipandang sebagai sesuatu yang rasional, konstruktif, dan
berfungsi secara social, atau sesuatu yangb irasional, patologis, dan tidak
berfungsi secara social” (1981:187). Hal ini menimbulkan akibat-akibat yang
penting, terutama untuk resolusi konflik. Juga ada polaritas yang nyata dalam
pendekatan-pendekatan teoritisnya. Ada dua pendekatan yang berlawanan:
pendekatan klasik dan pendekatan behavioris. Pendekatan klasik
memusatkan diri pada analisis tataran makro. Perhatiannya tertumpu pada analisa
interaksi antar kelompok. Kelompok-kelompok ini dapat dibagi ke dalam berbagai
sempalan berdasar, antara lain: nasional, institusional, etnis, kelas, dan
ideologis. Ahli teori klasik menaruh perhatian pada interaksi antar kelompok
pada tataran sadar (conscious level). Sedangkan kaum behavioris memusatkan diri
pada tataran mikro, dengan individu, bukan kelompok, sebagai unit kajiannya.
Kaum behavioris mengkaji faktor ketidaksadaran (the unconscious) untuk
memahami faktor-faktor motif yang tak terungkapkan. Dougherty dan Pfaltzgraff (1981:37)
menggambarkan metode-metode penelitian yang lain: kaum behavioris lebih menyukai
mengisolasi sedikit variabel dan menganalisa banyak kasus untuk
menentukan hubungan antar variabel itu. Sebaliknya, kaum tradisionalis
(klasik) lebih sering mengkaji semua variabel yang dianggap dapat berpengaruh
terhadap hasil (outcome) sebuah kasus.
Konflik menyebabkan terjadinya interaksi pada tataran yang lebih serius dari
sekedar kompetisi. Meskipun, sebagaimana yang dinyatakan Schelling, konflik,
kompetisi, dan kerjasama (cooperation) pada dasarnya saling berkaitan, konflik
terjadi manakala tujuan, kebutuhan, dan nilai-nilai kelompok-kelompok yang
bersaing bertabrakan dan akibatnya terjadilah agresi, walaupun belum tentu
berbentuk kekerasan (Schelling 1960).
TEORI-TEORI KONFLIK
MIKRO
Di antara asumsi-asumsi kaum behavioris yang paling penting adalah keyakinan
bahwa akar penyebab perang itu terletak pada sifat dan perilaku manusia;
dan keyakinan bahwa ada hubungan yang erat/penting antara konflik intrapersonal
dan konflik yang merambah tata social eksternal. Kaum behavioris meyakini peran
sentral hipotesa stimulus-respons. Penganut aliran ini berusaha mengukuhkan
apakah manusia memiliki karakteristik biologis atau psikologis yang akan
membuat kita cenderung kea rah agresi atau konflik. Mereka juga berusaha
menyelidiki hubungan antara individu dan keberadaannya di lingkungannya. Mereka
ingin memperhitungkan kemungkinan , dengan cara berpikir induktif,
variable-variabel khusus mengenai konflik intrapersonal dan generalisasi
mengenai konflik interpersonal (antar individu) dan internasional (antar
bangsa). Di antara teori-teori mikro yang paling umum/lazim yang akan kita
tinjau adalah: perilaku hewani (animal behavior), teori agresi
bawaan/instinktif (instinct or innate theories of aggression), teori agresi
frustasi, teori pembelajaran social dan teori identitas social.
Di kalangan kaum behavioris, para ahli biologi dan psikologi telah menggunakan
studi-studi perilaku atau etologis hewan untuk menggambarkan kemungkinan adanya
akibat wajar pada perilaku manusia. Manusia seringkali mengabaikan kenyataan
bahwa kita adalah bagian dari dunia hewan (animal kingdom). Namun demikian,
kita harus hati-hati agar tidak mengambil kesimpulan langsung mengenai perilaku
manusia dari perilaku hewan. Perilaku manusia dan hewan itu adalah fenomena
yang kompleks meliputi factor-faktor pendorong (motivational) seperti
“kewilayahan (territoriality), dominasi, sexualitas, dan kelangsungan hidup
(survival)” (O’Connell 1989:15). Ketika memakai metoda studi hewan variabel independen
yang dikaji adalah agresi. O’Connell merencanakan ruang lingkup (parameter)
konflik manusia dengan menyatakan bahwa manusia terlibat dalam konflik
‘predatory’ (pemangsaan) dan ‘intraspecific.’ Walau kedengarannya sangat aneh
tetapi bukannya tidak mungkin hewan melakukan banyak sekali jenis agresi, tapi
yang membedakan manusia dari dunia hewan lainnya adalah motivasi (faktor
pendorong) kita.
Peperangan terorganisasi merupakan bagian dari alam sebelum manusia tiba di
tempat itu. Nafsu menyerang yang terkoordinasi dan maksud politis yang jelas
yang dengannya serangga-serangga social tertentu melakukan agresi menunjukkan
bahwa, dari perilakunya, manusia bukan satu-satunya yang masuk tentara atau
berperang sebagai bagian dari tentara…Namun yang menjadi kunci perbedaannya
adalah motivasinya. Semut-semut berperang karena ‘gene’nya menuntut mereka
supaya berperang. Sebaliknya, manusia menciptakan fenomena menurut versinya
sendiri. Motif itu merupakan perangkat budaya (cultural instrument), hasil
imaginasinya (O’Connell 1989:30). O’Connell berpendapat, manusia terlibat
bermacam-macam/banyak sekali konflik. Keragaman konflik ini ditambah dengan
berbagai motivator yang memaksanya melakukan konflik. Unsur lain yang
menentukan konflik manusia adalah aspek material. Seperti yang dinyatakan
O’Connell, “Baru dengan datangnya pertanian lah, kemudian politik, peperangan
yang sebenarnya menjadi bagian dari pengalaman manusia. Pada saat itu ada
sesuatu yang bias dicuri dan pemerintah mengorganisasikan pencurian itu”
(1989:26). Meskipun studi perilaku hewan memberikan keterangan perihal perilaku
manusia, tetapi itu hanya memberikan petunjuk bukan penjelasan mengenai
kompleksitas konflik manusia. Studi itu memberikan langkah awal yang baik,
namun analisisnya melemah manakala perilaku manusia menjadi lebih kompleks dari
perilaku hewan.
Para ahli psikologi awal sering berdalil bahwa ada mekanisme instink atau
biologis bawaan yang membuat manusia cenderung melakukan agresi. Hal ini
mengarah pada pembentukan teori instink mengenai agresi. Teori ini
menggabungkan unsure-unsur studi psikologi awal (misalnya instink kematian dari
Freud) dan teori-teori sosial Darwin mengenai pertarungan/peperangan untuk
kelangsungan hidup (the fight for survival). Teori ini kemudian dianggap
tidak bisa dipercaya oleh para ahli biologi yang tidak percaya adanya mekanisme
seperti itu.
Di Seville, Spanyol pada tahun 1986 sekelompok ilmuwan bertemu untuk
menyelidiki sebab-sebab agresi manusia. John E. Mack menjelaskan hasil-hasil Pernyataan
Kekerasan Seville: Dalam Pernyataan Seville para penandatangan,
termasuk ahli-ahli psikologi, ilmuwan syaraf (neuroscientists), ahli genetika,
antropolog, dan ilmuwan politik, menyatakan bahwa tidak ada dasar ilmiah bagi
anggapan bahwa manusia adalah makhluk yang berpembawaan agresif, yang pasti
akan berperang berdasarkan sifat biologisnya. Alih-alih, mereka menyatakan,
perang adalah hasil sosialisasi dan kondisioning (rekayasa), suatu fenomena
organisasi manusia, perencanaan, dan pemrosesan informasi yang bermain-main
dengan potensi-potensi emosional dan motivasional. Singkatnya, Penyataan
Seville menyiratkan bahwa kita mempunyai pilihan-pilihan yang jelas dan bahwa
munkin ada jenis tanggung jawab baru dalam tingkah laku kehidupan kelompok
manusia (Mack 1990:58).
Arti penting Pernyataan Seville itu adalah implikasinya untuk
penjelasan, sikap, dan penyelesaian konflik manusia. Pernyataan Seville
mengarah pada inti salah satu perbincangan pokok dalam penelitian teori konflik:
apakah akar pokok konflik manusia itu akan ditemukan di dalam sifat dasar
(genetik) atau didikan/nurture (lingkungan). Para ilmuwan Seville
dengan tegas berkesimpulan bahwa konflik itu hasil lingkungan. Namun,
sebagaimana yang digambarkan dalam penemuan terbaru oleh para ahli genetika
(misalnya ‘pemetaan genetika/gene mapping’) debat mengenai itu masih
belum berakhir.
Seperti kebanyakan teori-teori perintis sebelumnya (pioneering), ‘innate
theory’ membuka jalan bagi hipotesa-hipotesa canggih dan ilmiah ‘over
time’. Perkembangan penting dari karya (work) ini adalah
berkembanganya teori ‘Frutasi-Agresi.’ Asumsi dasar teori ini adalah bahwa
semua agresi, baik antar individu/kelompk mauoun antar bangsa, berakar pada
rasa frustasi pencapaian tujuan salah satu atau lebih pelaku agresi itu.
Artinya, konflik itu dapat ditelusuri pada tidak tercapainya tujuan pribadi
atau kelompok dan rasa frustasi yang ditimbulkannya. Pertanyaan-pertanyan yang
muncul dari teori ini adalah: apakah semua frustasi secara otomatis mengarah
pada agresi, dan dapatkah semua agresi dan konflik ditelusuri berasal dari rasa
frustasi yang katalitis ? Pertanyaan-pertanyaan ini, dan juga tantangan
tidak cukupnya hubungan kausal (sebab-akibat) pada agresi, dan
pandangan-pandangan lainnya mengenai perilaku manusia mengarah pada
pendiskreditan teori Frustasi-Agresi dan perkembangan berikutnya teori
pembelajaran sosial (social learning theory) dan teori identitas sosial
(social identity theory).
Teori
pembalajaran sosial (social learning theory) berdasar hipotesa bahwa
agresi bukanlah sifat dasar bawaan (innate) atau naluri/instink (instinctual)
melainkan hasil pembelajaran melalui proses sosialisasi. Hipotesa ini adalah
pendirian/pendapat Pernyataan Seville (Seville Statement). Seseorang
memperoleh sifat agresi dengan cara mempelajarinya dari rumah, sekolah, dan
dari interaksinya dengan lingkungan pada umumnya. Interaksi dalam msyarakat itu
membantu memusatkan dan memicu sifat agresi yang terpendam terhadap musuh.
Konsep ini penting, terutama ketika konflik itu bersifat etno-nasional atau
sektarian.
Teori
Identitas Sosial (TIS) dikembangkan oleh ahli psikologi Henri Tajfel. Teori ini
memberikan wawasan tentang fenomena konflik. Ed Cairns, ahli psikologi dari
Universitas Ulster, mencatat pentingnya teori ini:” Yang membuat Teoti
Identitas ini berbeda dan penting adalah teori ini berdasar pada proses-proses
psikologi normal yang beroperasi dalam semua keadaan, tidak hanya dalam
kondisi-kondisi konlfik antar kelompok” (1994:5). Kita menciptakan identitas
sosial kita untuk menyederhanakan hubungan eksternal kita. Lebih jauh lagi, ada
kebutuhan manusia untuk memiliki rasa harga diri (self esteem and self worth)
yang kita transfer ke dalam kelompok kita sendiri. Kita juga menata lingkungan
kita dengan perbandingan social antar kelompok. Konsep ‘dalam kelompok’ (ingroups)
dan ‘luar kelompok’ (outgroups) itu ptning dalam analysis ini. Cairns
menjelaskan konsep penting lainnya dari Teori Identitas Sosial:
Teori Identitas Sosial telah membantu ahli psikologi social sektidaknya
mengenali bahwa individu-individu dalam kelompok itu berbeda dan perbedaan itu
bahwa perbedaan itulah yang menghasilkan bentuk-bentuk tindakan kelompok yang
dapat dikenali…Dengan kata lain apa yang telah dilakukan Teori Identitas Sosial
adalah menguraikan proses yang menempatkan individu dalam kelompok dan pada
saat yang sama menempatkan kelompok dalam individu (1994:9).
Tentu
saja, hubungan-hubungan kelompok adalah akar dari masalah- masalah berbagai
contoh konflik. Inti akar masalah itu adalah hubungan antar komunitas/kelompok
minoritas dan mayoritas. Tidak diragukan lagi bahwa system yang tidak stabil
dari perpecahan sosial antara kelompok mayoritas dan minoritas lebih mungkin
dipandang tidak sah (illegitimate) dibandingkan dengan sistem yang stabil; dan,
sebaliknya, bahwa sistem yang dipandang tidak sah akan mengandung benih-benih
ketidakstabilan. Hubungan antara pandangan ketidakstabilan dan ketidaksahan
sistem (pihak-pihak) yang berbeda inilah yang kemungkinan menjadi bumbu yang
ampuh terjadinya peralihan dari penerimaan kelompok minoritas terhadap status
quo ke penolakannya (1981:320).
Akibatnya, kelompok-kelompok itu menempatkan pentingnya pandangan keabsahan ke
dalam lingkungan sosialnya. Legitimasi (keabsahan) merupakan konsep yang
penting bagi kelompok-kelompok yang terlibat konflik karena mereka memandang
negara tidak sah. Seperti pengamatan Tajfel:
Pandangan ketidakabsahan (perceived illlegitimacy) hubungan antar
kelompok secara sosiologis dan psikologis adalah diterima dan dapat diterimanya
pengungkit (lever) untuk tindakan dan perubahan social dalam perilaku
antar kelompok (intergroup behavior)…Dalam hal keelompok yang
“inferior”, fungsi pengungkit/pengaruh (leverage) terpenuhi dengan
pandangan ketidaksahan hasil-hasil perbandingan antar kelompok; dalam hal
kelompok-kelompok “inferior” yang sedang menuju perubahan, ‘leverage’nya adalah
keabsahan (legitimasi) citra perbandingannya yang baru (new comparative
image); dalam hal kelompok-kelompok yang “superior” ‘leverage’nya adalah
keabsahan usaha-usaha untuk memelihara status quo perbedaan nilai manakala
perbedaan nilai ini dipandang terancam (1978:76).
Teori
mikro telah menambah dimensi penting pada pemahaman kita mengenai konflik.
Teori ini menempatkan situasi yang kompleks ke dalam model-model yang bisa
dikerjakan yang tegar (‘stand up’) terhadap analisis empiris. Teori-teori ini
merupakan modal yang berguna dalam usaha kita menekankan objektifitas pada
situasi-situasi tertentu. Alih-alih menunggu terselesaikannya debat nature
versus nurture, jika memang dapat diselesaikan, lebih baik menggabungkan kedua
pendekatan itu ke dalam pengembangan model penjelasan yang canggih. Sosialisasi
merupakan konsep yang penting, begitu juga perbandingan-perbandingan kelompok,
identitas diri dan kelompok yang positif dan pandangan ketidakabsahan oleh
kelompok-kelompok minoritas. Setelah hal-hal ini difahami, perilaku agresif
mungkin bisa dijelaskan. Betapapun mendalamnya analisa empiris terhadap tataran
mikro penelitian kita, masih tetap tidak bisa memperhitungkan semua variabel
dan sifat konflik, terutama pada tataran sadar. Disinilah teori makro berperan
dalam analisis konflik manusia. Untuk meliput dunia sadar kita sekarang beralih
pada teori-teori konflik makro.
TEORI-TEORI KONFLIK MAKRO
Teori makro memusatkan perhatian pada interaksi kelompok-kelompok, terutama
pada tataran sadar. Para ahli teori politik awal, dari Thucidydes dan Sun Tsu
sampai Machiavelli dan Von Clausewitz, telah memilih satu unsur tertentu
sebagai pusat perhatian: kekuasaan. Memakai dan menjalankan kekuasaan adalah
konsep utama teori konflik makro. Para ahli teori makro sependapat bahwa
kekuasaan itu dating dalam berbagai bentuk: ekonomi, politik, militer, bahkan
budaya. Asumsi umum makro, atau teori klasik adalah bahwa akar konflik berasal
dari persaingan kelompok dan pengejaran kekuasaan dan sumber-sumber.
Asumsi-asumsi ini beroperasi pada factor-faktor motivasi sadar dalam lingkungan
yang berorientasi material. Teori klasik menggunakan pengamatan-pengamatan
fenomena kelompok pada suatu peristiwa untuk mempelajari masalahnya secara
mendalam, dan menentukan pentingnya dan hubungan-hubungan banyak variabel
ketimbang hanya menggunakan segelintir variabel untuk banyak kasus. Metodologi
utama yang digunakan adalah pendekatan historis atau studi kasus.
Pada abad kesembilan , Eropa paska Napoleon umumnya konsern dengan
perimbangan kekuasaan (balance of power). Konsep ini dipergunakan oleh
Matternich pada Konser Eropa. Pada saat meletusnya Perand Dunia I umunya
menghancurkan teori ini, asumsi-asumsinya digunakan dalam teori pencegahan
(deterrence theory) Perang Dingin. Teori pencegahan berdasar pada asumsi bahwa perimbangan
terror (balance of terror) karena arsenal nuklir negara-negara adikuasa
akan mencegah konflik. Teori pencegahan membuka jalan bagi teori-teori
yang lebih canggih seperti teori pengambilan keputusan (decision making
theory) dan teori permainan (game theory).
Teori pengambilan keputusan dan teori permainan berasal dari model
aktor/pelaku rasional abad keduapuluh. Model aktor/pelaku rasional
dikembangkan oleh para ahli ekonomi untuk menjelaskan perilaku ekonomi manusia.
Teori ini beranggapan bahwa masyarakat membuat pilihan-pilihan dan keputusan-keputusan
secara rasional berdasarkan informasi tentang pilihan-pilihan itu dan
petimbangan kesempatan-kesempatan (Downs 1957). Teori permainan berdasar pada
model aktor/pelaku rasional dalam hal mengandalkan pada asumsi proses
pengambilan keputusan yang rasional yang mendasar bagi keikutsertaan dalam
konflik manusia.
Thomas Schelling mengembangkan model ini lebih jauh dengan menciptakan
teori permainan yang canggih. Model permainan Schelling meliputi komunikasi,
negosiasi, informasi, dan memperkenalkan pentingnya irasionalitas ke dalam
pemikiran strategis. Salah satu sumbangsih Schelling yang paling penting adalah
hipotesanya mengenai saling ketergantungan (interdependency) konflik,
kompetisi (persaingan) dan kooperasi (kerjasama) di antara para pelakuknya
(Schelling 1960). Dalam setiap peristiwa konflik ada unsure-unsur kerjasama
(kooperasi); keterlibatan kerjasama (cooperative engagements) seringkali
melahirikan unsure konflik. Pandangan ini menjadi unsure penting dalam
pemahaman kita terhadap konflik. Schelling menggunakan teori permainan
sebagai usaha untuk memecah (menyederhanakan) kompleksitas hubungan antar
kelompok dengan menggunakan permainan untuk menggambarkan situasi-situasi yang
serupa. Dia menggunakan tiga jenis permaionan: kesempatan (chance), kecakapan
(skill), dan strategi (strategic), untuk menggambarkan akibat-akibat
wajar dari hubungan antar bangsa (internasional)—baik bersifat kerjasama (cooperative)
maupun konflik (conflictual).
Dalam teori makro terdapat seperangkat konsep yang dapat diambil dari studi
konflik etnis. Di sinilah letak pentingnya memahami konflik etnonasional karena
konsep yang sama dapat diterapkan pada konflik sectarian. Apakah konflik itu
didefiniskan dalam istilah-istilah etnis atau sectarian, tidak banyak bedanya
secara teoretis karena konsepsi-konsepsi untuk konflik etnis dan sectarian
beroperasi dengan cara yang sama. Yang penting adalah kelompok-kelompok
orang-orang ini telah menggolongkan diri sebagai kelompok-kelompok yang berbeda
dan mereka memandang satu sama lain sebagai luar kelompok atau musuh
Kita mulai dengan tinjauan mengenai teori konflik etnis dari Donald
Horowitz. Dalam karya semifinalnya mengenai konflik etnis di negara-negara
sedang berkembang, dia menguraikan kerangka di mana konflik etnis itu
terjadi:
Akhirnya, sistem negara yang mulanya muncul dari feodalisme Eropa dan
sekarang, dalam periode paska kolonial, benar-benar meliputi seluruh dunia
memberikan kerangka di mana konflik etnis itu terjadi. Penguasaan negara itu,
penguasaan suatu negara, dan pembebasan dari penguasaan oleh kelompok-kelompok
lain merupakan di antara tujuan konflik etnis (1985:5).
Akibatnya, salah satu tujuan utama konflik etnis adalah berusaha menguasai
negara itu sendiri. Kelompok-kelompok itu berusaha menguasai negara agar dapt
menjamin terpenuhinya kebutuhan-kebutuhannya, biasanya dengan merugikan/merusak
kelompok-kelompok pesaingnya. Konflik atas penguasaan negara ini seringkali
dipandang sebagai ‘zero sum conflict’ (konflik habis-habisan).
Maksudnya, kemenangan satu kelompok berarti kekalahan kelompok yang lain:
konflik ini bukan “sama-sama menang” (win-win) untuk kedua kelompok itu.
Meskipun ini tak pelak lagi masalah konflik inti dalam kebanyakan kasus di
negara-negara yang terpolarisasi, ada juga masalah-malasah sampingan lainnya
yang menambah kompleksitas situasi yang ada. Sebagaimana yang dijelaskan
Horowitz:
Dalam masyarakat yang sangat terpecah-pecah, persoalan etnis merasuk ke
dalam banyak sekali masalah: rencana pembangunan, kontroversi pendidikan,
masalah perdagangan, kebijakan pertanahan, kebijaksanaan ekonomi, perpajakan.
Secara khusus, hal-hal yang di tempat lain akan ditempatkan ke dalam kategori
administrasi rutin menduduki tempat utama dalam agenda politik masyarakat yang
terpecah secara etnis (1985:8).
Horowitz membedakan sistem yang beranking dan sistem yang tidak beranking.
Sistem yang berangking adalah masyarakat di mana satu kelompok etnis berkuasa
penuh terhadap kelompok lain. Sistem yang tidak beranking terdiri dari dua
kelompok etnis dengan stratifikasi internalnya sendiri yakni elit dan massa.
Horowitz lebih lanjut mencatat:
Perpindahan (migrasi) dan penaklukan yang tidak sepenuhnya (incomplete
conquest) juga menimbulkan munculnya berbagai jenis keluhan sejarah (histories)
yang tak kunjung hilang. Sekelompok pribumi yang dijajah dan terpaksa
membiarkan masuknya etnis asing untuk tujuan-tujuan ekonomi penjajah belakangan
mungkin menganggap keberadaannya sebagai (illegitimate) ab initio yang
tidak sah (1985:30).
Horowitz menguraikan akibat-akibat konflik seperti itu:
Ketika kekerasan etnis terjadi, kelompok-kelompok yang tidak beranking
biasanya tidak bertujuan terjadinya transformasi social, tetapi bertujuan
sesuatu yang mendekati otonomi kekuasaan, dengan mengucilkan kelompok-kelompok
etnis yang sejajar/serupa dari pembagian kekuasaan (a share of power), dan
seringkali pengembalian dengan pengusiran atau pembasmian pada status quo ante
(sebelum status quo) yang iperlakuan, homogen secara etnis (1985:31).
Seorang teoris lain tentang konflik etnis yang telah smemberikan sumbangsih
yang besar terhadap pemahaman kita adalah Profeso Walker Connor. Connor menaruh
perhatian pada kebingungan dengan istilah-istilah dan konsep-konsep dalam
literature mengenai konflik etnis. Ia percaya bahwa para pengamat seringkali
mengaitkan konfik etno-nasional pada unsure-unsur lain yang tidak terlalu
penting:
Singkatnya, perselisihan etnis terlalu sering dilihat secara dangkal (superficial)
berdasarkan utamanya pada bahasa, agama, adat istiadat, ketidakadilan ekonomi,
atau unsure laina yang nyata. Tetapi apa yang pada dasarnya terlibat dalam
konflik semacam itu adalah perbedaan identitas dasar yang mengejawantah
(mewujud) pada sindrom ‘kita-mereka’ (1994:46). :
Meskipun agama dan kehilangan ekonomi mungkin merupakan faktor penunjang
penting terhadap timbulnya konflik etnis, oposisi terhadap identitas nasional
lah yang menetukan konflik. Connor selanjutnya menggarisbawahi pentingnya
kedalaman emosi dalam konflik etnis:
Penjelasan-penjelasan mengenai perilaku berkenaan dengan kelompok-kelompok
penekan (pressure groups), ambisi kaum elit, dan teori pilihan rasional sama
sekali tidak mengisyaratkan adanya nafsu (passions) yang mendorong gerilya
Kurdi, Tamil, dan Tigre atau teroris Basque, Corsica, Irlandia, dan Palestina.
Tidak juga mengisyaratkan adanya nafsu yang mengarah pada pembantaian
orang-orang Bengali oleh orang-orang Assam atau orang Punjab oleh kaum Sikh.
Singkatnya, penjelasan-penjelasan ini merupakan pedoman yang buruk perilaku
yang yang diilhami oleh etnonasional (1994:31).
Salah satu konsep kunci dan berlawanan untuk perilaku etnonasional adalah
(perilaku etnonasional) tidak digerakkan oleh elit (not elite driven),
sebagaimana fenomena politik lainnya, melainkan digerakkan massa (mass driven).
Jika demikian halnya, maka (perilaku etnonasional itu) mempunyai akibat-akibat
penting untuk mencarikan jalan pemecahannya. Misalnya,
komponen kunci dalam demokrasi ‘consociational’ adalah kerjasama kelompok
elit. Meskipun teori ‘consociational’ mungkin berlaku bagi (work for)
Walloons dan Flemish di Belgia, tidak akan berlaku di Irlandia Utara karena di
sana sedikit atau tidak ada kerjasama kelompok elit; dan bahkan jika ada pun,
tidak akan menggerakkan cukup dukungan untuk keberhasilannya. Seperti yang
Connor nyatakan: “Hakikat nasionalisme tidak akan ditemukan dalam motivasi kaum
elit yang mungkin memanipulasi nasionalisme untuk suatu tujuan tersembunyi,
melainkan ditemukan pada sentimen massa yang diharapkan kaum elit” (1994:161).
Saya berpendapat bahwa dalam konflik Timur Tengah terdapat fenomena yang
digerakkan massa bukan fenomena yang digerakkan kaum elit. Meskipun tokoh-tokoh
utama seperti Yaser Arafat dan lain-lainnya tentu mempunyai pengaruh terhadap
konflik itu, tindakan-tindakan mereka terbatas pada apa yang akan
ditolerir oleh pengikut-pengikutnya.
Jika
kerjasama elit bukan kunci pemecahan masalah, maka kunci itu terletak pada hal
lain. Sayangnya tidak ada pemecahan (solusi) yang sederhana terhadap konflik
etno-nasional. Jika ada, tentu pemecahannya itu sekarang sudah ditemukan dan
diterapkan pada masyarakat-masyarakat yang sangat terpecah-pecah, seperti
antara lain Rwanda, Srilangka, Cyprus, Lebanon dan Irlandia Utara.
Horowitz menawarkan semacam harapan melalui system berbagai kekuasaan (system
of power sharing); tetapi bukan berbagi kekuasaan jenis atas-bawah,
tetapi dari bawah-ke atas (Horowitz 1994:188). Dalam situiasi seperti ini
diperlukan rekayasa politik. Lembaga-lembaga harus diubah atau, dalam hal
negara dengan sedikit legitimasi, diganti dengan yang baru.
Teori-teori perilaku mengkaji alam bawah sadar individu (individual
subconscious), sedangkan teori-teori klasik memusatkan perhatian pada interaksi
sadar kelompok-kelompok. Teori klasik seringkali disibukkan dengan pelaksanaan
kekuasaan (exercise of power) dan penggunaan kekuatan/kekerasan (force) dalam
hubungan antar kelompok. Teori klasik berguna untuk menjelaskan
tindakan-tindakan dan peristiwa-peristiwa, namun tidak menjawab
pertanyaan-pertanyaan mengenai factor-faktor motivasi bawah sadar. Teopri-teori
konflik etnis berguna untuk menjelaskan perilaku konflik. Teori ini
menggambarkan kedalaman dan kompleksnya emosi yang sedang bergolak (at work).
Yang diperlukan adalah sintesa kedua pendekatan perilaku (behavioral)
dan klasik (classical) itu untuk menjelaskan fenomena konflik. Sintesa
ini akan memungkinkan para peneliti menerobos batas teori-teori jarak menengah
(circumscribed mid-range theories) yang ada sekarang. Kita harus dapat
menjelaskan hal-hal seperti kekerasan pendirian (intrasigence)
bagian-bagian tertentu pada inti konflik serta kekerasan yang berkepanjangan
pada kelompok-kelompok pinggiran (at the fringes).
Pola
variabel-variabel tetap (consistent) mulai muncul. Kita dapat melihat
konvergensi (pertemuan) pemikiran pada pentingnya konsep seperti identitas dan
dikotomi kita-mereka. Dikotomi ini seringkali mengarah pada persepsi
konflik habis-habisan (zero sum conflict). Sebagian besar analis juga
menekankan pentingnya kedalaman emosi yang berkaitan dengan konflik
etnonasional. Banyak analis yang juga mengamati bahwa ada ketergantungan
yang berlebihan materialisme sebagai konsep penjelas (explanatory concept).
Connor merangkum hal ini dengan baik:
Sebagaimana yang dikemukakan Chateaubriand hampir 200 tahun yang lalu:
“Manusia tidak akan membiarkan (mengijinkan) dirinya terbunuh untuk
kepentingannya; namun mereka akan membiarkan (mengijinkan) dirinya terbunuh
untuk nafsunya (passion).” Dengan kata lain: Manusia tidak akan
secara sukarela mati untuk hal-hal yang rasional (1994:206).
Barangkali yang benar adalah mereka hanya akan mengijinkan dirinya terbunuh
untuk kebutuhannya (needs).
Karena teori mikro dana makro sampai saat ini tidak cukup untuk menjelaskan
konflik dalam berbagai komunitas, maka pencarian paradigma baru harus dimulai
dengan fusi atau sintesa teori mikro dan makro. Ikhtiar untuk melakukan ini
terwujud dengan lahirnya teori seperti Teori Sistem Musuh (Enemy System
Theory/EST), Teori Kebutuhan Manusia (Human Needs Theory/HNT),
dan Teori Resolusi Konflik (Conflict Resolution Theory/CRT) oleh John
Burton. Teori-teori ini akan diperkenalkan dan dikaji pada bagian-bagian
berikutnya
thanks
BalasHapus