Sabtu, 19 Oktober 2013

Teori Konflik



TEORI KONFLIK

            Tujuan bagian ini adalah untuk membahas tema-tema dan aliran-aliran pemikiran teori konflik. Hal ini dilakukan untuk memberikan batasan ruang lingkup dan ragam konflik sehingga konflik sebagai fenomena social dapat diletakkan dalam perspektif yang tepat. Tinjauan teori konflik akan mengetengahkan sejumlah pengamatan. Pertama, ada banyak sekali literatur yang ditulis tentang sifat dan teori konflik, terutama yang berhubungan dengan peperangan. Kedua, kurangnya kesepakatan (consensus) antara pandangan kontemporer dan historis mengenai konflik manusia. Ketiga, di antara literature yang sangat erat kaitannya (relevan) dengan para ahli teori ilmu politik, ada beberapa dikotomi yang mengarah ke pencarian paradigma yang dominan.
            Dikotomi pertama berkenaan dengan sifat konflik. Dougherty dan Pfaltzgraff menjelaskan masalah itu:”Para ilmuwan social terbagi dalam persoalan apakah konflik social harus dipandang sebagai sesuatu yang rasional, konstruktif, dan berfungsi secara social, atau sesuatu yangb irasional, patologis, dan tidak berfungsi secara social” (1981:187). Hal ini menimbulkan akibat-akibat yang penting, terutama untuk resolusi konflik. Juga ada polaritas yang nyata dalam pendekatan-pendekatan teoritisnya. Ada dua pendekatan yang berlawanan: pendekatan klasik dan pendekatan behavioris. Pendekatan klasik memusatkan diri pada analisis tataran makro. Perhatiannya tertumpu pada analisa interaksi antar kelompok. Kelompok-kelompok ini dapat dibagi ke dalam berbagai sempalan berdasar, antara lain: nasional, institusional, etnis, kelas, dan ideologis. Ahli teori klasik menaruh perhatian pada interaksi antar kelompok pada tataran sadar (conscious level). Sedangkan kaum behavioris memusatkan diri pada tataran mikro, dengan individu, bukan kelompok, sebagai unit kajiannya. Kaum behavioris mengkaji faktor ketidaksadaran (the unconscious) untuk memahami faktor-faktor motif yang tak terungkapkan. Dougherty dan Pfaltzgraff (1981:37) menggambarkan metode-metode penelitian yang lain: kaum behavioris lebih menyukai mengisolasi sedikit variabel dan menganalisa banyak kasus untuk menentukan hubungan antar variabel itu. Sebaliknya, kaum tradisionalis (klasik) lebih sering mengkaji semua variabel yang dianggap dapat berpengaruh terhadap hasil (outcome) sebuah kasus.
             Konflik menyebabkan terjadinya interaksi pada tataran yang lebih serius dari sekedar kompetisi. Meskipun, sebagaimana yang dinyatakan Schelling, konflik, kompetisi, dan kerjasama (cooperation) pada dasarnya saling berkaitan, konflik terjadi manakala tujuan, kebutuhan, dan nilai-nilai kelompok-kelompok yang bersaing bertabrakan dan akibatnya terjadilah agresi, walaupun belum tentu berbentuk kekerasan (Schelling 1960).

TEORI-TEORI KONFLIK MIKRO
             Di antara asumsi-asumsi kaum behavioris yang paling penting adalah keyakinan bahwa akar penyebab perang itu terletak pada  sifat dan perilaku manusia; dan keyakinan bahwa ada hubungan yang erat/penting antara konflik intrapersonal dan konflik yang merambah tata social eksternal. Kaum behavioris meyakini peran sentral hipotesa stimulus-respons. Penganut aliran ini berusaha mengukuhkan apakah manusia memiliki karakteristik biologis atau psikologis yang akan membuat kita cenderung kea rah agresi atau konflik. Mereka juga berusaha menyelidiki hubungan antara individu dan keberadaannya di lingkungannya. Mereka ingin memperhitungkan kemungkinan , dengan cara berpikir induktif, variable-variabel khusus mengenai konflik intrapersonal dan generalisasi mengenai konflik interpersonal (antar individu) dan internasional (antar bangsa). Di antara teori-teori mikro yang paling umum/lazim yang akan kita tinjau adalah: perilaku hewani (animal behavior), teori agresi bawaan/instinktif (instinct or innate theories of aggression), teori agresi frustasi, teori pembelajaran social dan teori identitas social.
            Di kalangan kaum behavioris, para ahli biologi dan psikologi telah menggunakan studi-studi perilaku atau etologis hewan untuk menggambarkan kemungkinan adanya akibat wajar pada perilaku manusia. Manusia seringkali mengabaikan kenyataan bahwa kita adalah bagian dari dunia hewan (animal kingdom). Namun demikian, kita harus hati-hati agar tidak mengambil kesimpulan langsung mengenai perilaku manusia dari perilaku hewan. Perilaku manusia dan hewan itu adalah fenomena yang kompleks meliputi factor-faktor pendorong (motivational) seperti “kewilayahan (territoriality), dominasi, sexualitas, dan kelangsungan hidup (survival)” (O’Connell 1989:15). Ketika memakai metoda studi hewan variabel independen yang dikaji adalah agresi. O’Connell merencanakan ruang lingkup (parameter) konflik manusia dengan menyatakan bahwa manusia terlibat dalam konflik ‘predatory’ (pemangsaan) dan ‘intraspecific.’ Walau kedengarannya sangat aneh tetapi bukannya tidak mungkin hewan melakukan banyak sekali jenis agresi, tapi yang membedakan manusia dari dunia hewan lainnya adalah motivasi (faktor pendorong) kita.
            Peperangan terorganisasi merupakan bagian dari alam sebelum manusia tiba di tempat itu. Nafsu menyerang yang terkoordinasi dan maksud politis yang jelas yang dengannya serangga-serangga social tertentu melakukan agresi menunjukkan bahwa, dari perilakunya, manusia bukan satu-satunya yang masuk tentara atau berperang sebagai bagian dari tentara…Namun yang menjadi kunci perbedaannya adalah motivasinya. Semut-semut berperang karena ‘gene’nya menuntut mereka supaya berperang. Sebaliknya, manusia menciptakan fenomena menurut versinya sendiri. Motif itu merupakan perangkat budaya (cultural instrument), hasil imaginasinya (O’Connell 1989:30).  O’Connell berpendapat, manusia terlibat bermacam-macam/banyak sekali konflik. Keragaman konflik ini ditambah dengan berbagai motivator yang memaksanya melakukan konflik. Unsur lain yang menentukan konflik manusia adalah aspek material. Seperti yang dinyatakan O’Connell, “Baru dengan datangnya pertanian lah, kemudian politik, peperangan yang sebenarnya menjadi bagian dari pengalaman manusia. Pada saat itu ada sesuatu yang bias dicuri dan pemerintah mengorganisasikan pencurian itu” (1989:26). Meskipun studi perilaku hewan memberikan keterangan perihal perilaku manusia, tetapi itu hanya memberikan petunjuk bukan penjelasan mengenai kompleksitas konflik manusia. Studi itu memberikan langkah awal yang baik, namun analisisnya melemah manakala perilaku manusia menjadi lebih kompleks dari perilaku hewan.
            Para ahli psikologi awal sering berdalil bahwa ada mekanisme instink atau biologis bawaan yang membuat manusia cenderung melakukan agresi. Hal ini mengarah pada pembentukan teori instink mengenai agresi. Teori ini menggabungkan unsure-unsur studi psikologi awal (misalnya instink kematian dari Freud) dan teori-teori sosial Darwin mengenai pertarungan/peperangan untuk kelangsungan hidup (the fight for survival). Teori ini kemudian dianggap tidak bisa dipercaya oleh para ahli biologi yang tidak percaya adanya mekanisme seperti itu.
            Di Seville, Spanyol pada tahun 1986 sekelompok ilmuwan bertemu untuk menyelidiki sebab-sebab agresi manusia. John E. Mack menjelaskan hasil-hasil Pernyataan Kekerasan Seville: Dalam Pernyataan Seville para penandatangan, termasuk ahli-ahli psikologi, ilmuwan syaraf (neuroscientists), ahli genetika, antropolog, dan ilmuwan politik, menyatakan bahwa tidak ada dasar ilmiah bagi anggapan bahwa manusia adalah makhluk yang berpembawaan agresif, yang pasti akan berperang berdasarkan sifat biologisnya. Alih-alih, mereka menyatakan, perang adalah hasil sosialisasi dan kondisioning (rekayasa), suatu fenomena organisasi manusia, perencanaan, dan pemrosesan informasi yang bermain-main dengan potensi-potensi emosional dan motivasional. Singkatnya, Penyataan Seville menyiratkan bahwa kita mempunyai pilihan-pilihan yang jelas dan bahwa munkin ada jenis tanggung jawab baru dalam tingkah laku kehidupan kelompok manusia (Mack 1990:58).
            Arti penting Pernyataan Seville itu adalah implikasinya untuk penjelasan, sikap, dan penyelesaian konflik manusia. Pernyataan Seville mengarah pada inti salah satu perbincangan pokok dalam penelitian teori konflik: apakah akar pokok konflik manusia itu akan ditemukan di dalam sifat dasar (genetik) atau didikan/nurture (lingkungan). Para ilmuwan Seville dengan tegas berkesimpulan bahwa konflik itu hasil lingkungan. Namun, sebagaimana yang digambarkan dalam penemuan terbaru oleh para ahli genetika (misalnya ‘pemetaan genetika/gene mapping’) debat mengenai itu masih belum berakhir.

Seperti kebanyakan teori-teori perintis sebelumnya (pioneering), ‘innate theory’ membuka jalan bagi hipotesa-hipotesa canggih dan ilmiah ‘over time’. Perkembangan penting dari karya (work) ini adalah berkembanganya teori ‘Frutasi-Agresi.’ Asumsi dasar teori ini adalah bahwa semua agresi, baik antar individu/kelompk mauoun antar bangsa, berakar pada rasa frustasi pencapaian tujuan salah satu atau lebih pelaku agresi itu. Artinya, konflik itu dapat ditelusuri pada tidak tercapainya tujuan pribadi atau kelompok dan rasa frustasi yang ditimbulkannya. Pertanyaan-pertanyan yang muncul dari teori ini adalah: apakah semua frustasi secara otomatis mengarah pada agresi, dan dapatkah semua agresi dan konflik ditelusuri berasal dari rasa frustasi yang  katalitis ? Pertanyaan-pertanyaan ini, dan juga tantangan tidak cukupnya hubungan kausal (sebab-akibat) pada agresi, dan pandangan-pandangan lainnya mengenai perilaku manusia mengarah pada pendiskreditan teori Frustasi-Agresi dan perkembangan berikutnya teori pembelajaran sosial (social learning theory) dan teori identitas sosial (social identity theory).

            Teori pembalajaran sosial (social learning theory) berdasar hipotesa bahwa agresi bukanlah sifat dasar bawaan (innate) atau naluri/instink (instinctual) melainkan hasil pembelajaran melalui proses sosialisasi. Hipotesa ini adalah pendirian/pendapat Pernyataan Seville (Seville Statement). Seseorang memperoleh sifat agresi dengan cara mempelajarinya dari rumah, sekolah, dan dari interaksinya dengan lingkungan pada umumnya. Interaksi dalam msyarakat itu membantu memusatkan dan memicu sifat agresi yang terpendam terhadap musuh. Konsep ini penting, terutama ketika konflik itu bersifat etno-nasional atau sektarian.

            Teori Identitas Sosial (TIS) dikembangkan oleh ahli psikologi Henri Tajfel. Teori ini memberikan wawasan tentang fenomena konflik. Ed Cairns, ahli psikologi dari Universitas Ulster, mencatat pentingnya teori ini:” Yang membuat Teoti Identitas ini berbeda dan penting adalah teori ini berdasar pada proses-proses psikologi normal yang beroperasi dalam semua keadaan, tidak hanya dalam kondisi-kondisi konlfik antar kelompok” (1994:5). Kita menciptakan identitas sosial kita untuk menyederhanakan hubungan eksternal kita. Lebih jauh lagi, ada kebutuhan manusia untuk memiliki rasa harga diri (self esteem and self worth) yang kita transfer ke dalam kelompok kita sendiri. Kita juga menata lingkungan kita dengan perbandingan social antar kelompok. Konsep ‘dalam kelompok’ (ingroups) dan ‘luar kelompok’ (outgroups) itu ptning dalam analysis ini. Cairns menjelaskan konsep penting lainnya dari Teori Identitas Sosial:
Teori Identitas Sosial telah membantu ahli psikologi social sektidaknya mengenali bahwa individu-individu dalam kelompok itu berbeda dan perbedaan itu bahwa perbedaan itulah yang menghasilkan bentuk-bentuk tindakan kelompok yang dapat dikenali…Dengan kata lain apa yang telah dilakukan Teori Identitas Sosial adalah menguraikan proses yang menempatkan individu dalam kelompok dan pada saat yang sama menempatkan kelompok dalam individu (1994:9).

            Tentu saja, hubungan-hubungan kelompok adalah akar dari masalah- masalah berbagai contoh konflik. Inti akar masalah itu adalah hubungan antar komunitas/kelompok minoritas dan mayoritas. Tidak diragukan lagi bahwa system yang tidak stabil dari perpecahan sosial antara kelompok mayoritas dan minoritas lebih mungkin dipandang tidak sah (illegitimate) dibandingkan dengan sistem yang stabil; dan, sebaliknya, bahwa sistem yang dipandang tidak sah akan mengandung benih-benih ketidakstabilan. Hubungan antara pandangan ketidakstabilan dan ketidaksahan sistem (pihak-pihak) yang berbeda inilah yang kemungkinan menjadi bumbu yang ampuh terjadinya peralihan dari penerimaan kelompok minoritas terhadap status quo ke penolakannya (1981:320).
            Akibatnya, kelompok-kelompok itu menempatkan pentingnya pandangan keabsahan ke dalam lingkungan sosialnya. Legitimasi (keabsahan) merupakan konsep yang penting bagi kelompok-kelompok yang terlibat konflik karena mereka memandang negara tidak sah. Seperti pengamatan Tajfel:

Pandangan ketidakabsahan (perceived illlegitimacy) hubungan antar kelompok secara sosiologis dan psikologis adalah diterima dan dapat diterimanya pengungkit (lever) untuk tindakan dan perubahan social dalam perilaku antar kelompok (intergroup behavior)…Dalam hal keelompok yang “inferior”, fungsi pengungkit/pengaruh (leverage) terpenuhi dengan pandangan ketidaksahan hasil-hasil perbandingan antar kelompok; dalam hal kelompok-kelompok “inferior” yang sedang menuju perubahan, ‘leverage’nya adalah keabsahan (legitimasi) citra perbandingannya yang baru (new comparative image); dalam hal kelompok-kelompok yang “superior” ‘leverage’nya adalah keabsahan usaha-usaha untuk memelihara status quo perbedaan nilai manakala perbedaan nilai ini dipandang terancam (1978:76).

            Teori mikro telah menambah dimensi penting pada pemahaman kita mengenai konflik. Teori ini menempatkan situasi yang kompleks ke dalam model-model yang bisa dikerjakan yang tegar (‘stand up’) terhadap analisis empiris. Teori-teori ini merupakan modal yang berguna dalam usaha kita menekankan objektifitas pada situasi-situasi tertentu. Alih-alih menunggu terselesaikannya debat nature versus nurture, jika memang dapat diselesaikan, lebih baik menggabungkan kedua pendekatan itu ke dalam pengembangan model penjelasan yang canggih. Sosialisasi merupakan konsep yang penting, begitu juga perbandingan-perbandingan kelompok, identitas diri dan kelompok yang positif dan pandangan ketidakabsahan oleh kelompok-kelompok minoritas. Setelah hal-hal ini difahami, perilaku agresif mungkin bisa dijelaskan. Betapapun mendalamnya analisa empiris terhadap tataran mikro penelitian kita, masih tetap tidak bisa memperhitungkan semua variabel dan sifat konflik, terutama pada tataran sadar. Disinilah teori makro berperan dalam analisis konflik manusia. Untuk meliput dunia sadar kita sekarang beralih pada teori-teori konflik makro.

TEORI-TEORI KONFLIK MAKRO
Teori makro memusatkan perhatian pada interaksi kelompok-kelompok, terutama pada tataran sadar. Para ahli teori politik awal, dari Thucidydes dan Sun Tsu sampai Machiavelli dan Von Clausewitz, telah memilih satu unsur tertentu sebagai pusat perhatian: kekuasaan. Memakai dan menjalankan kekuasaan adalah konsep utama teori konflik makro. Para ahli teori makro sependapat bahwa kekuasaan itu dating dalam berbagai bentuk: ekonomi, politik, militer, bahkan budaya. Asumsi umum makro, atau teori klasik adalah bahwa akar konflik berasal dari persaingan kelompok dan pengejaran kekuasaan dan sumber-sumber. Asumsi-asumsi ini beroperasi pada factor-faktor motivasi sadar dalam lingkungan yang berorientasi material. Teori klasik menggunakan pengamatan-pengamatan fenomena kelompok pada suatu peristiwa untuk mempelajari masalahnya secara mendalam, dan menentukan pentingnya dan hubungan-hubungan banyak variabel ketimbang hanya menggunakan segelintir variabel untuk banyak kasus. Metodologi utama yang digunakan adalah pendekatan historis atau studi kasus.
Pada abad kesembilan , Eropa paska Napoleon umumnya konsern dengan perimbangan kekuasaan (balance of power). Konsep ini dipergunakan oleh Matternich pada Konser Eropa. Pada saat meletusnya Perand Dunia I umunya menghancurkan teori ini, asumsi-asumsinya digunakan dalam teori pencegahan (deterrence theory) Perang Dingin. Teori pencegahan berdasar pada asumsi bahwa perimbangan terror (balance of terror) karena arsenal nuklir negara-negara adikuasa akan mencegah konflik. Teori pencegahan membuka jalan bagi teori-teori  yang lebih canggih seperti teori pengambilan keputusan (decision making theory) dan teori permainan (game theory).
Teori pengambilan keputusan dan teori permainan berasal dari model aktor/pelaku rasional abad keduapuluh.  Model aktor/pelaku rasional dikembangkan oleh para ahli ekonomi untuk menjelaskan perilaku ekonomi manusia. Teori ini beranggapan bahwa masyarakat membuat pilihan-pilihan dan keputusan-keputusan secara rasional berdasarkan informasi tentang pilihan-pilihan itu dan petimbangan kesempatan-kesempatan (Downs 1957). Teori permainan berdasar pada model aktor/pelaku rasional dalam hal mengandalkan pada asumsi proses pengambilan keputusan yang rasional yang mendasar bagi keikutsertaan dalam konflik manusia.
Thomas Schelling mengembangkan model ini lebih jauh dengan menciptakan teori permainan yang canggih. Model permainan Schelling meliputi komunikasi, negosiasi, informasi, dan memperkenalkan pentingnya irasionalitas ke dalam pemikiran strategis. Salah satu sumbangsih Schelling yang paling penting adalah hipotesanya mengenai saling ketergantungan (interdependency) konflik, kompetisi (persaingan) dan kooperasi (kerjasama) di antara para pelakuknya (Schelling 1960). Dalam setiap peristiwa konflik ada unsure-unsur kerjasama (kooperasi); keterlibatan kerjasama (cooperative engagements) seringkali melahirikan unsure konflik. Pandangan ini menjadi unsure penting dalam pemahaman kita terhadap konflik. Schelling menggunakan teori permainan  sebagai usaha untuk memecah (menyederhanakan) kompleksitas hubungan antar kelompok dengan menggunakan permainan untuk menggambarkan situasi-situasi yang serupa. Dia menggunakan tiga jenis permaionan: kesempatan (chance), kecakapan (skill), dan strategi (strategic), untuk menggambarkan akibat-akibat wajar dari hubungan antar bangsa (internasional)—baik bersifat kerjasama (cooperative) maupun konflik (conflictual).
Dalam teori makro terdapat seperangkat konsep yang dapat diambil dari studi konflik etnis. Di sinilah letak pentingnya memahami konflik etnonasional karena konsep yang sama dapat diterapkan pada konflik sectarian. Apakah konflik itu didefiniskan dalam istilah-istilah etnis atau sectarian, tidak banyak bedanya secara teoretis karena konsepsi-konsepsi untuk konflik etnis dan sectarian beroperasi dengan cara yang sama. Yang penting adalah kelompok-kelompok orang-orang ini telah menggolongkan diri sebagai kelompok-kelompok yang berbeda dan mereka memandang satu sama lain sebagai luar kelompok atau musuh
Kita mulai dengan tinjauan mengenai teori konflik etnis dari Donald Horowitz. Dalam karya semifinalnya mengenai konflik etnis di negara-negara sedang berkembang, dia menguraikan kerangka  di mana konflik etnis itu terjadi:

Akhirnya, sistem negara yang mulanya muncul dari feodalisme Eropa dan sekarang, dalam periode paska kolonial, benar-benar meliputi seluruh dunia memberikan kerangka di mana konflik etnis itu terjadi. Penguasaan negara itu, penguasaan suatu negara, dan pembebasan dari penguasaan oleh kelompok-kelompok lain merupakan di antara tujuan konflik etnis (1985:5).

Akibatnya, salah satu tujuan utama konflik etnis adalah berusaha menguasai negara itu sendiri. Kelompok-kelompok itu berusaha menguasai negara agar dapt menjamin terpenuhinya kebutuhan-kebutuhannya, biasanya dengan merugikan/merusak kelompok-kelompok pesaingnya. Konflik atas penguasaan negara ini seringkali dipandang sebagai ‘zero sum conflict’ (konflik habis-habisan). Maksudnya, kemenangan satu kelompok berarti kekalahan kelompok yang lain: konflik ini bukan “sama-sama menang” (win-win) untuk kedua kelompok itu. Meskipun ini tak pelak lagi masalah konflik inti dalam kebanyakan kasus di negara-negara yang terpolarisasi, ada juga masalah-malasah sampingan lainnya yang menambah kompleksitas situasi yang ada. Sebagaimana yang dijelaskan Horowitz:

Dalam masyarakat yang sangat terpecah-pecah, persoalan etnis merasuk ke dalam banyak sekali masalah: rencana pembangunan, kontroversi pendidikan, masalah perdagangan, kebijakan pertanahan, kebijaksanaan ekonomi, perpajakan. Secara khusus, hal-hal yang di tempat lain akan ditempatkan ke dalam kategori administrasi rutin menduduki tempat utama dalam agenda politik masyarakat yang terpecah secara etnis (1985:8).

Horowitz membedakan sistem yang beranking dan sistem yang tidak beranking. Sistem yang berangking adalah masyarakat di mana satu kelompok etnis berkuasa penuh terhadap kelompok lain. Sistem yang tidak beranking terdiri dari dua kelompok etnis dengan stratifikasi internalnya sendiri yakni elit dan massa. Horowitz lebih lanjut mencatat:

Perpindahan (migrasi) dan penaklukan yang tidak sepenuhnya (incomplete conquest) juga menimbulkan munculnya berbagai jenis keluhan sejarah (histories) yang tak kunjung hilang. Sekelompok pribumi yang dijajah dan terpaksa membiarkan masuknya etnis asing untuk tujuan-tujuan ekonomi penjajah belakangan mungkin menganggap keberadaannya  sebagai (illegitimate) ab initio yang tidak sah (1985:30).

Horowitz menguraikan akibat-akibat konflik seperti itu:

Ketika kekerasan etnis terjadi, kelompok-kelompok yang tidak beranking biasanya tidak bertujuan terjadinya transformasi social, tetapi bertujuan sesuatu yang mendekati otonomi kekuasaan, dengan mengucilkan kelompok-kelompok etnis yang sejajar/serupa dari pembagian kekuasaan (a share of power), dan seringkali pengembalian dengan pengusiran atau pembasmian pada status quo ante (sebelum status quo) yang iperlakuan, homogen secara etnis (1985:31).

Seorang teoris lain tentang konflik etnis yang telah smemberikan sumbangsih yang besar terhadap pemahaman kita adalah Profeso Walker Connor. Connor menaruh perhatian pada kebingungan dengan istilah-istilah  dan konsep-konsep dalam literature mengenai konflik etnis. Ia percaya bahwa para pengamat seringkali mengaitkan konfik etno-nasional pada unsure-unsur lain yang tidak terlalu penting:
Singkatnya, perselisihan etnis terlalu sering dilihat secara dangkal (superficial) berdasarkan utamanya pada bahasa, agama, adat istiadat, ketidakadilan ekonomi, atau unsure laina yang nyata. Tetapi apa yang pada dasarnya terlibat dalam konflik semacam itu adalah perbedaan identitas dasar yang mengejawantah (mewujud) pada sindrom ‘kita-mereka’ (1994:46).  :

Meskipun agama dan kehilangan ekonomi mungkin merupakan faktor penunjang penting terhadap timbulnya konflik etnis, oposisi terhadap identitas nasional lah yang menetukan konflik. Connor selanjutnya menggarisbawahi pentingnya kedalaman emosi dalam konflik etnis:

Penjelasan-penjelasan mengenai perilaku berkenaan dengan kelompok-kelompok penekan (pressure groups), ambisi kaum elit, dan teori pilihan rasional sama sekali tidak mengisyaratkan adanya nafsu (passions) yang mendorong gerilya Kurdi, Tamil, dan Tigre atau teroris Basque, Corsica, Irlandia, dan Palestina. Tidak juga mengisyaratkan adanya nafsu yang mengarah pada pembantaian orang-orang Bengali oleh orang-orang Assam atau orang Punjab oleh kaum Sikh. Singkatnya, penjelasan-penjelasan ini merupakan pedoman yang buruk perilaku yang yang diilhami oleh etnonasional (1994:31).

Salah satu konsep kunci dan berlawanan untuk perilaku etnonasional adalah (perilaku etnonasional) tidak digerakkan oleh elit (not elite driven), sebagaimana fenomena politik lainnya, melainkan digerakkan massa (mass driven). Jika demikian halnya, maka (perilaku etnonasional itu) mempunyai akibat-akibat penting untuk mencarikan jalan pemecahannya. Misalnya, komponen kunci dalam demokrasi  ‘consociational’ adalah kerjasama kelompok elit. Meskipun teori ‘consociational’ mungkin berlaku bagi (work for) Walloons dan Flemish di Belgia, tidak akan berlaku di Irlandia Utara karena di sana sedikit atau tidak ada kerjasama kelompok elit; dan bahkan jika ada pun, tidak akan menggerakkan cukup dukungan untuk keberhasilannya. Seperti yang Connor nyatakan: “Hakikat nasionalisme tidak akan ditemukan dalam motivasi kaum elit yang mungkin memanipulasi nasionalisme untuk suatu tujuan tersembunyi, melainkan ditemukan pada sentimen massa yang diharapkan kaum elit” (1994:161). Saya berpendapat bahwa dalam konflik Timur Tengah terdapat fenomena yang digerakkan massa bukan fenomena yang digerakkan kaum elit. Meskipun tokoh-tokoh utama seperti Yaser Arafat dan lain-lainnya tentu mempunyai pengaruh terhadap konflik itu, tindakan-tindakan mereka  terbatas pada apa yang akan ditolerir oleh pengikut-pengikutnya.
            Jika kerjasama elit bukan kunci pemecahan masalah, maka kunci itu terletak pada hal lain. Sayangnya tidak ada pemecahan (solusi) yang sederhana terhadap konflik etno-nasional. Jika ada, tentu pemecahannya itu sekarang sudah ditemukan dan diterapkan pada masyarakat-masyarakat yang sangat terpecah-pecah, seperti antara lain Rwanda, Srilangka, Cyprus, Lebanon dan Irlandia Utara.  Horowitz menawarkan semacam harapan melalui system berbagai kekuasaan (system of power sharing); tetapi bukan berbagi kekuasaan  jenis atas-bawah, tetapi dari bawah-ke atas (Horowitz 1994:188). Dalam situiasi seperti ini diperlukan rekayasa politik. Lembaga-lembaga harus diubah atau, dalam hal negara dengan sedikit legitimasi, diganti dengan yang baru.
            Teori-teori perilaku mengkaji alam bawah sadar individu (individual subconscious), sedangkan teori-teori klasik memusatkan perhatian pada interaksi sadar kelompok-kelompok. Teori klasik seringkali disibukkan dengan pelaksanaan kekuasaan (exercise of power) dan penggunaan kekuatan/kekerasan (force) dalam hubungan antar kelompok. Teori klasik berguna untuk menjelaskan tindakan-tindakan dan peristiwa-peristiwa, namun tidak menjawab pertanyaan-pertanyaan mengenai factor-faktor motivasi bawah sadar. Teopri-teori konflik etnis berguna untuk menjelaskan perilaku konflik. Teori ini menggambarkan kedalaman dan kompleksnya emosi yang sedang bergolak (at work). Yang diperlukan adalah sintesa kedua pendekatan perilaku (behavioral) dan klasik (classical) itu untuk menjelaskan fenomena konflik. Sintesa ini akan memungkinkan para peneliti menerobos batas teori-teori jarak menengah (circumscribed mid-range theories) yang ada sekarang. Kita harus dapat menjelaskan hal-hal seperti kekerasan pendirian (intrasigence) bagian-bagian tertentu pada inti konflik serta kekerasan yang berkepanjangan pada kelompok-kelompok pinggiran (at the fringes).
            Pola variabel-variabel tetap (consistent) mulai muncul. Kita dapat melihat konvergensi (pertemuan) pemikiran pada pentingnya konsep seperti identitas dan dikotomi kita-mereka. Dikotomi ini seringkali mengarah pada persepsi konflik habis-habisan (zero sum conflict). Sebagian besar analis juga menekankan pentingnya kedalaman emosi yang berkaitan dengan konflik etnonasional. Banyak analis yang juga mengamati  bahwa ada ketergantungan yang berlebihan materialisme sebagai konsep penjelas (explanatory concept). Connor merangkum hal ini dengan baik:

Sebagaimana yang dikemukakan Chateaubriand hampir 200 tahun yang lalu: “Manusia tidak akan membiarkan (mengijinkan) dirinya terbunuh untuk kepentingannya; namun mereka akan membiarkan (mengijinkan) dirinya terbunuh untuk nafsunya (passion).” Dengan kata lain: Manusia tidak akan secara sukarela mati untuk hal-hal yang rasional (1994:206).

Barangkali yang benar adalah mereka hanya akan mengijinkan dirinya terbunuh untuk kebutuhannya (needs).
            Karena teori mikro dana makro sampai saat ini tidak cukup untuk menjelaskan konflik dalam berbagai komunitas, maka pencarian paradigma baru harus dimulai dengan fusi atau sintesa teori mikro dan makro. Ikhtiar untuk melakukan ini terwujud dengan lahirnya teori seperti Teori Sistem Musuh (Enemy System Theory/EST), Teori  Kebutuhan Manusia (Human Needs Theory/HNT), dan Teori Resolusi Konflik (Conflict Resolution Theory/CRT) oleh John Burton. Teori-teori ini akan diperkenalkan dan dikaji pada bagian-bagian berikutnya

1 komentar: