Sabtu, 19 Oktober 2013

Permasalahan di Seputar Kawasan Ekonomi Khusus




Abstrak
UU No 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal yang pada Pasal 31 telah menyebutkan adanya pengaturan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) sebagai bagian dari kegiatan penanaman modal di Indonesia. Cikal bakal dari kegiatan KEK sudah ada dengan diundangkannya UU tentang Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas. Selain itu praktek yang mengarah kepada kegiatan KEK sudah ada dengan ditandatanganinya MOU antara Pemerintah RI dan Pemerintah Singapura, dengan menjadikan Batam, Bintan dan Karimun (BBK) sebagai proyek percontohan. Walaupun sudah ada proyek percontohan dan ada beberapa instrument pengaturannya, tetapi untuk mengatur masalah KEK sebagai bagian dari kegiatan investasi memerlukan kajian hukum yang lebih komprehensif, sehingga nantinya kegiatan KEK sebagai bagian dari kegiatan penanaman modal mempunyai arti yang signifikan dengan kegiatan penanaman modal di Indonesia.

Pendahuluan
UU No 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal telah diundangkan pada tanggal 26 April 2007 dan dalam salah satu bab yang diatur pada Bab XIV yaitu tentang Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) sebagaimana diatur dalam Pasal 31. UU No 25 Tahun 2007 tidak memberikan penjelasan resmi tentang makna hukum dalam KEK tersebut, tapi dalam pelaksanaannya isu seputar KEK telah bergulir sebelum permasalahan KEK diatur dalam UU No 25 Tahun 2007. Hal ini dapat dilihat pada tanggal 25 Juni 2006, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melakukan penandatanganan kerja sama pembentukan Special Economic Zone (SEZ) bersama Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong di Turi Beach Resort. Jadi sebelum pengaturan KEK tersebut, sebenarnya cikal bakal terbentuknya KEK sudah dilakukan oleh Pemerintah RI dengan Pemerintah Singapora. Jadi dengan pengaturan KEK dalam UU No 25 Tahun 2007 merupakan salah satu justifikasi atau legalitas KEK dalam UU No 25 Tahun 2007 atau dalam RUU KEK di masa mendatang. Keinginan pemerintah untuk merealisir KEK juga diungkapkan  Wapres Jusuf Kalla[1], bahwa gagasan memperjelas KEK di beberapa daerah yang diprediksi potensial menjadi industrial cluster sesuai dengan kapasitas kawasan masing-masing, yakni sesuai dengan UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Amanat pembentukan KEK dalam UU sebagaimana disebutkan dalam Pasal 31 ayat (3) UU No 25 Tahun 2007, telah dilakukan pemerintah dengan disiapkannya Naskah Akademis dan Draft RUU tentang Kawasan Ekonomi Khusus[2]. Bahkan dalam Program Legislasi Nasional tahun 2008, RUU KEK merupakan salah satu di antara 31 RUU yang akan menjadi prioritas pembahasan RUU antara Pemerintah dan DPR pada tahun anggaran 2008.[3]
Upaya pemerintah untuk mengembangkan daerah tertentu sebagai bagian dari KEK pernah diungkapkan oleh Menteri Perdagangan RI Mari Pangestu dalam Rapat Kerja dengan Komisi VI DPR-RI[4]. Pembentukan KEK merupakan upaya pemerintah untuk mempercepat peningkatan ekspor dan investasi diperlukan berbagai kebijakan khusus. Hal ini juga sebagai upaya untuk menandingi negara pesaing utama seperti RRC[5], Vietnam, Malaysia dan Thailand. Kebijakan khusus dimaksud dalam bentuk fasilitas khusus di bidang perpajakan, kepabeanan, infrastruktur pendukung, kemudahan perijian, keimigrasian dan ketenagakerjaan.
Selama ini ada beberapa bentuk atau kluster yang berhubungan dengan kawasan pengembangan perekonomian, seperti :
  1. Kawasan Industri (Keputusan Presiden No 41 Tahun 1996)
  2. Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu/KAPET (Keputusan Presiden No 150 Tahun 2000)
  3. Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas.(UU No 44 Tahun 2007 tentang Penetapan Perppu No 1 Tahun 2007 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas)
  4. Tempat Penimbunan Berikat (PP No 33 Tahun 1996)  dalam bentuk :
    1. Kawasan Berikat dan  Kawasan Berikat Plus;
    2. Gudang Berikat;
    3. Entrepot Untuk Tujuan Pameran;
    4. Toko Bebas Bea, dan
  5. Kawasan Ekonomi Khusus (Bab XIV UU No 25 Tahun 2007).
Bagi pemerintah sendiri keinginan untuk mengembangkan suatu kawasan ekonomi khusus ada hubungannya dengan kegiatan investasi pada umumnya, hal ini dapat dilihat dari tujuan pengembangan KEK, yaitu :
  1. peningkatan investasi;
  2. penyerapan tenaga kerja;
  3. penerimaan devisa sebagai hasil dari peningkatan ekspor;
  4. meningkatkan keunggulan kompetitif produk ekspor;
  5. meningkatkan pemanfaatan sumber daya lokal, pelayanan dan kapital bagi peningkatan ekspor;
  6. mendorong terjadinya peningkatan kualitas SDM melalui transfer teknologi.
Maksud pengembangan KEK, antara lain:[6]
  1. Memberi peluang bagi peningkatan investasi melalui penyiapan kawasan yang memiliki keunggulan dan siap menampung kegiatan industri, ekspor impor serta kegiatan ekonomi yang mempunyai nilai ekonomi tinggi;
  2. Meningkatkan pendapatan devisa bagi negara melalui perdagangan internasional; dan
  3. Meningkatkan kesempatan kerja, kepariwisataan dan investasi.
Selain itu fungsi dari diadakannya KEK, antara lain:[7]
  1. menjadi pusat kegiatan ekonomi dan terkait dengan wilayah pengembangan lainnya;
  2. harus mampu memberikan manfaat bagi kawasan lain;
  3. KEK bukan merupakan kawasan tertutup sehingga memberikan efek ganda terhadap perekonomian lokal;
  4. Harus dapat mendorong pertumbuhan industri pendukung di sekitar kawasan.
Bagi kalangan investor asing, pentingnya masalah legalitas akan menjadi ujung tombak bagi keberhasilan pengelolaan suatu kawasan. Biasanya calon investor akan melakukan perhitungan matematis dan perhitungan bisnis bila mereka melakukan suatu kegiatan bisnis pada suatu kawasan. Kepentingan para investor dapat termotivasi apabila kawasan perdagangan tersebut mempunyai pengakuan hukum (legal recognition) ke luar atau ke dalam.
Permasalahan
Amanat untuk pembentukan RUU KEK telah digariskan dalam Pasal 31 ayat (3) UU No 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal dan menjadi salah satu RUU yang diprioritaskan pada tahun 2008. Apakah mudah untuk menyusun draft RUU KEK, mengingat banyak kepentingan antar instansi pemerintah yang harus diatur dalam RUU KEK tersebut.
Hal mendasar yang berhubungan dengan KEK yaitu kedudukan KEK sebagai bagian kawasan khusus, karena saat ini sudah ada kawasan khusus yang bernama Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas (Free Trade Zone), apakah KEK sebagai bagian dari FTZ atau FTZ sebagai bagian dari KEK atau KEK dan FTZ adalah dua kawasan khusus yang berbeda. Hal ini bisa dilihat dari sejumlah berita di media massa yang masih mencampuradukan antara KEK dan FTZ.
Di sisi lain pemerintah pusat telah menunjuk daerah Batam, Bintan dan Karimun sebagai percontohan daerah yang akan dijadikan kawasan ekonomi khusus. Hal ini sesuai dengan adanya kerjasama antara Pemerintah RI dan Pemerintah Singapura pada Juni 2006 yang lalu. Untuk menindaklanjuti MOU tersebut pemerintah telah mengundangkan PP No 46, 47 dan 48 Tahun 2007 tentang Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam, Bintan dan Karimun. Tentu untuk menindaklanjuti kerjasama tersebut diperlukan aturan pelaksanaannya, baik aturan teknis ataupun aturan administrasi yang akan dijadikan alat atau parameter bagi pemerintah daerah setempat untuk menindaklanjuti kerjasama tersebut dalam kerangka persiapan daerah tersebut sebagai bagian dari KEK.
Analisa
FTZ sebagai bagian KEK atau KEK sebagai bagian FTZ.
Jauh sebelum gaung KEK terdengar, sebenarnya cikal bakal KEK sudah ada dengan diundangkannya UU No 36 Tahun 2000 tentang Penetapan Perppu No 1 Tahun 2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Menjadi Undang-Undang. UU No 36 Tahun 2000 kemudian diubah dengan UU No 44 Tahun 2007 tentang Penetapan Perppu No 1 Tahun 2007 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Menjadi Undang-Undang. Di antara kedua UU tersebut ada 2 nuansa yang berbeda, bila di UU No 36 Tahun 2000, khususnya pada Pasal 4 Kawasan Perdagangan dan Pelabuhan Bebas merupakan wilayah hukum Negara Kesatuan RI yang pembentukkannya dengan Undang-Undang, maka di UU No 44 Tahun 2007, ketentuan pembentukan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas, cukup diatur dengan Peraturan Pemerintah. Jadi ada perbedaan prinsip, yaitu diatur dengan UU diganti menjadi diatur dengan PP. Hal ini terjadi karena sebelum Perppu diajukan ke DPR, pemerintah sudah mengundangkan PP No 46 Tahun 2007 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam, jo PP No 47 Tahun 2007 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Bintan jo PP No 48 Tahun 2007 Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Karimun. Jadi pengajuan Perppu No 1 Tahun 2007 semacam justifikasi atas diundangkannya PP No 46 – 48 Tahun 2007.
Problematik FTZ vs KEK harus dilihat dari kerangka perbandingan kawasan pengembangan perekonomian yang ada di dunia saat ini. Untuk menggambarkan posisi kawasan tersebut dapat dilihat dalam tabel  1 di bawah ini, serta perbandingan konsep FTZ dan KEK menurut peraturan perundang-undangan (Tabel 2)
Bila dilihat di antara tabel tersebut, maka keberadaan pengaturan KEK dalam sistem hukum nasional  ada sedikit perbedaan dengan best practise yang ada di dunia ini. Perbedaan mendasar yaitu tentang pengertian atau definisi dari KEK/SEZ, bila dalam ketentuan best practices disebutkan Suatu wilayah yang luas tanpa pembatas yang jelas (pagar) yang di dalamnya terdapat wilayah-wilayah tertentu untuk kegiatan perekonomian, berbeda dengan pengertian yang diatur dalam draft RUU KEK Pasal 1 angka 1, yaitu Kawasan dengan batas-batas tertentu dalam wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ditetapkan untuk menyelenggarakan fungsi-fungsi perekonomian yang bersifat khusus dan memperoleh fasilitas tertentu.
Problematik apakah FTZ bagian dari KEK atau sebaliknya masih tampak dari sejumlah berita atau diskusi tentang kedua hal tersebut. Masing-masing pihak berpandangan menurut pengertian sendiri tanpa melihat literatur yang berhubungan dengan FTZ dan KEK tersebut. Bila kedua hal ini didikotomikan, maka akan muncul pandangan sebagai berikut :
FTZ merupakan kawasan khusus yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Hal ini terbukti dengan diundangkannya UU No 44 Tahun 2007 jo UU No 36 Tahun 2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas jo PP No 46 – 48 Tahun 2007 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam, Bintan dan Karimun.
Menurut model pengembangan perekonomian suatu kawasan, maka SEZ/KEK terbagi atas : a) FTZ, b) Bonded Zone, c) Export Processing Zone dan d) Kawasan Industri Terpadu. Dalam RUU KEK[8] disebutkan bahwa KEK dapat dibentuk terdiri dari satu atau kombinasi dari : a) Kawasan Pengolahan Eksport; b) Tempat Penimbunan Berikat; c) Kawasan Industri; d) Kawasan Pengembangan Teknologi; e) Kawasan Jasa Keuangan; f) Kawasan Ekonomi lainnya. Dalam RUU KEK[9], suatu lokasi dapat diusulkan untuk menjadi KEK jika memenuhi kriteria dasar sebagai berikut :
  1. Ada kesanggupan dari Pemerintah Provinsi/Kabupaten/Kota yang bersangkutan untuk melaksanakan pengelolaan KEK;
  2. Sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah, ditetapkan sebagai kawasan budidaya dan tidak berpotensi mengganggu kawasan lindung;
  3. Terletak pada posisi yang strategis yaitu dekat dengan jalur perdagangan internasional atau berdekatan dengan jalur pelayaran internasional di Indonesia atau pada wilayah potensi sumber daya unggulan;
  4. Telah tersedia dukungan infrastruktur dan kemungkinan pengembangannya;
  5. Tersedia lahan untuk pengembangan yang diusulkan;
  6. Memiliki batas yang jelas.
Selain pengertian atau definisi di atas, maka hal terpenting yang menjadi nilai jual bagi kalangan investor adalah kemudahan atau fasilitas yang diberikan oleh negara terhadap konsepsi KEK tersebut.  Fasilitas atau kemudahan merupakan faktor yang akan menarik kalangan investor, misalnya kemudahan apa yang akan diterima oleh investor seperti adanya pelayanan satu atap atau pelayanan satu pintu yang diberikan oleh badan pengelola atau badan pengusahaan KEK dengan standar dunia (the world class services). Melalui kemudahan ini diharapkan para investor hanya cukup datang ke badan pengelola untuk mengurus segala izin yang berhubungan dengan kegiatan investasi tersebut. Di sisi lain fasilitas atau insentif yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan kepada para investor, jadi ada semacam keistimewaan atau perlakukan khusus di bidang tertentu yang berbeda di luar daerah KEK tersebut, seperti adanya tax holiday untuk jangka waktu tertentu, penangguhan atau pembebasan bea masuk termasuk di bidang perpajakan.
Dalam RUU KEK disebutkan bahwa UU akan memberikan fasilitas tertentu dalam bentuk:
a.  Fasilitas tertentu, antara lain :
  1. Perpajakan (Pasal 19);
  2. Kepabeanan (Pasal 20-21);
  3. Perdagangan (Pasal 22);
  4. Pertanahan (Pasal 24);
  5. Keimigrasian (Pasa 26); dan
  6. Ketenagakerjaan (Pasal 29- Pasal 31).
b.  Fasilitas non fiskal (Pasal 25), berupa kemudahan dan keringanan, antara lain :
  1. bidang perijinan usaha;
  2. kegiatan usaha;
  3. perbankan;
  4. permodalan;
  5. perindustrian;
  6. perdagangan;
  7. kepelabuhan, dan
  8. keamanan.
Terhadap fasilitas tertentu fasilitas non fiskal di atas perlu disinkronisasi dan harmonisasikan dengan peraturan perundang-undangan lainnya, sebab jangan sampai pengalaman UU No 25 Tahun 2007 khususnya tentang pertanahan dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi.
Akhirnya untuk membuat konsep KEK di Indonesia berjalan mulus dan sesuai dengan standar dunia, pemerintah telah membentuk Tim Nasional Pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus di Indonesia (Timnas KEKI) berdasarkan Surat Keputusan Menko Perekonomian No Kep-21/M.EKON/03/2006 tertanggal 24 Maret 2006. Timnas KEKI dalam laporan pendahuluan telah menetapkan 12 kriteria untuk menjadikan kawasan sebagai kawasan ekonomi khusus, yaitu :[10]
  1. KEKI harus diusulkan sendiri oleh pemda dan memperoleh komitmen kuat dari Pemda bersangkutan. Komitmen itu berupa kesediaan Pemda untuk menyerahkan pengelolaan kawasan yagn diusulkan kepada manajemen khusus;
  2. Kepastian kebijakan, meliputi dukungan aspek legal dalam pengembangan kegiatan ekonomi, baik kebijakan fiskal ataupun non fiskal;
  3. Merupakan pusat kegiatan wilayah yang memenuhi RTRW. Selain itu telah ditetapkan sebagai kawasan perindustrian atau oleh UU telah ditetapkan sebagai wilayah dengan perlakuan khusus;
  4. Tidak harus satu kesatuan wilayah, namun merupakan kawasan yang relatif telah berkembang dan memiliki keterkaitan dengan wilayah pengembangan lain;
  5. Sudah tersedia fasilitas infrastruktur pendukung;
  6. Tersedia lahan untuk industri minimal 10 hektar ditambah lahan untuk perluasannya;
  7. Tersedia tenaga kerja yang terlatih di sekitar lokasi;
  8. Lokasi harus  memberikan dampak ekonomi yang signifikan;
  9. Lokasi tidak terlalu jauh dengan pelabuhan dan bandara internasional. Selain itu secara geopolitis wilayah KEKI bersaing dengan negara lain atau bisa menjadi komplementer dari sentra produksi di negara lain;
  10. Secara ekonomi strategis, dekat dengan lokasi pasar hasil produksi, tidak jauh dari sumber bahan baku atau pusat distribusi internasional;
  11. Tidak mengganggu daerah konservasi alam; dan
  12. Memiliki batas yang jelas baik batas alam maupun batas buatan, serta kawasan yang mudah dikontrol keamanannya, sehingga mencegah upaya penyelundupan.

TABEL 1
PERBANDINGAN KAWASAN PENGEMBANGAN PEREKONOMIAN
No
PERIHAL
SPECIAL ECONOMI ZONE
FREE TRADE ZONE
BONDED Z0NE
INDUSTRIAL ZONE
1
Definisi
Suatu wilayah yang luas tanpa pembatas yang jelas (pagar) yang di dalamnya terdapat wilayah-wilayah tertentu untuk kegiatan perekonomian
Kawasan yang terisolasi dan berlokasi dekat dengan pelabuhan laut dan bandara, dimana barang impor akan dipindahkan, disimpan, dikemas ulang atau proses lainnya bebas dari pengenaan bea masuk, PPN, PPnBM dan cukai.
Bangunan atau kawasan dengan batas-batas tertentu yang didalamnya dilakukan kegiatan usaha industri pengolahan barang dan bahan, rancang bangun, rekayasa, penyortiran, pemeriksaan awal atau akhir, pengepakan atas barang asal impor atau lokal yang hasilnya untuk ekspor.
Kawasan tempat pemusatan kegiatan industri yang dilengkapi dengan saraa dan prasarana penunjang yang dikembangkan dan dikelola oleh perusahaan kawasan industri.
2
Wilayah
Wilayah luas dan tidak terbatas
Wilayahnya tertentu dan terbatas.
Wilayahnya tertentu dan terbatas
Wilayahnya tertentu dan terbatas.
3.
Kelembagaan
  1. Pemerintah Pusat;
  2. Pemerintah Daerah;
  3. Otorita Pengembangan SEZ;
  4. Pengelola zona-zona.

  1. Dewan Kawasan;
  2. Pelaksana Harian Dewan Kawasan;
  3. Badan Pengusahaan Kawasan.
  1. BUMN;
  2. Swasta yang berbadan hukum,
1.   BUMN;
2. Swasta yang berbadan hukum.
4.
Fasilitas
Di RRC, fasiltias kepabeanan diberikan dalam bentuk pembebasan bea dan pajak perdagangan. Di bidang perpajakan PPh korporasi 15%
Di India, fasiltias kepabeanan dalam bentuk single windows clearance, tidak memerlukan izin usaha importir, post audit system. Di bidang perpajakan diberikan tax holiday, 100% di 5 tahun pertama, 50% di 5 tahun berikutnya.

Di Filipina, fasilitas kepabeanan dalam bentuk bebas pajak dan bea masuk. Di bidang perpajakan adanya fasilitas penangguhan pajak untuk pembelian barang modal dan bibit dari dalam negeri serta PPH 5% atas penghasilan kotor,
  1. Bebas Bea Masuk, PPN dan PPnBM serta Cukai.
  2. Prosedur dan dokumentasi ekspor impor lebih sederhana

Penangguhan Bea Masuk tidak dipungut PPN, PPnBM dan PPh Pasal 22
Tidak ada fasiltas fiskal
5.
Kegiatan
  1. Ada FTZ;
  2. Ada Economic Processing Zone;
  3. Tourism Zone;
  4. Residential Zone.




Kegiatan usaha di bidang perekonomian yang meliputi industri, perdagangan, perhubungan, perbankan, asuransi, telekomunikasi, promosi, maritim, perikanan dan bidang lain dalam rangka kegiatan ekspor.
Industri yang berorientasi ekspor
Kegiatan industri pengolahan baik untuk ekspor maupun pasar domestik.
6.
Prinsip dan Syarat
Ada Rencana Tata Ruang Wilayah
  1. Luas kawasan terbatas;
  2. Ada pembatas/pagar yang jelas yang membedakan kawasan perdagangan bebas dan non perdagangan bebas;
  3. tidak ada pemukiman penduduk;
  4. tidak ada kegiatan perdagangan eceran;
  5. sesuai dengan RTRW penetapan wilayah tertentu

  1. Luas kawasan terbatas;
  2. memiliki pagar keliling yang merupakan natas pemisah yang jelas dengan kawasan lain;
  3. tidak ada penduduk;
  4. ada pos pemukiman penduduk;
  5. sesuai dengan RTRW dalam penetapan wilayah bonded zone.


  1. Luas kawasan tertentu dan ada pembatas;
  2. sesuai dengan RTRW;
  3. Tidak ada pemukiman penduduk;
  4. Dilengkapi sarana dan prasarana penunjang.
Sumber :  diambil dari beberapa sumber dan peraturan perundang-undangan dan dianalisis oleh penulis.

Tabel 2
Perbandingan KEK dan FTZ menurut peraturan perundang-undangan

No
Perihal
UU No 44 Tahun 2007 Jo UU No 36 Tahun 2000
PP 46,47 dan 48 Tahun 2007
RUU KEK (draft 3 Januari 2008)
1
Definisi
Suatu kawasan yang berasda dalam wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang terpisah dari daerah pabean, sehingga bebas dari pengenaan bea masuk, PPN dan PPnBM dan Cukai.
Tidak diatur secara tegas, karena mengacu kepada UU No 36 Tahun 2000
Kawasan dengan batas-batas tertentu dalam wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ditetapkan untuk menyelenggarakan fungsi-fungsi perekonomian yang bersifat khusus dan memperoleh fasilitas tertentu
2
Wilayah
UU 36 Tahun 2000 :
Batas Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas ditetapkan dalam UU

UU No 44 Tahun 2007 :
Batas Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas ditetapkan dalam PP.
Wilayah FTZ  Batam :
Pulau Batam, Pulau Tonton, Pulau Setokok, Pulau Nipah, Pulau Rempang, Pulau Galang dan Pulau Baru

Wilayah FTZ Bintan :
Sebagian wilayah Kab Bintan serta seluruh Kawasan Industri Galang Batang dan Maritim serta Pulau Lobam; Sebagian wilayag Kota Tanjung Pinang yang meliputi Kawasan Industri Senggarang dan Dompang Barat.

FTZ Karimun :
Sebagian wilayah Pulau Karimun dan seluruh Pulau Karimun Anak.
Kawasan tertentu dengan batas tertentu
3
Kelembagaan
  1. Dewan Kawasan;
  2. Badan Pengusahaan
FTZ Batam :
Badan Pengusahaan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam (paling lambat 31 Desember 2008, sebelum terbentuknya Badan ini, dilakukan bersama antara Pemerintah Kota Batam dan Badan Otorita Batam)

FTZ Bintan :
Badan Pengusahaan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Bintan (paling lambat 20 Agustus  2008)
Badan Pengusahaan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Karimun (paling lambat 20 Agustus  2008).
  1. Dewan Nasional;
  2. Dewan Kawaan; dan
  3. Badan Pengusahaan.

4
Fasilitas
Fasilitas bebas:
  1. Bea Masuk;
  2. PPN dan PPnBM;
  3. Cukai
  1. Bagi pengusaha yang telah mendapat izin dari Badan Pengusahaan;
  2. Untuk kebutuhan penduduk di kawasan.

Pemasukan barang yang berhubungan dengan kegiatan usahanya.

Pemasukan dan pengeluaran barang melalui bandar udara dan pelabhan yang ditunjuk dan berada di bawah pengawasan pabean.

Fasiltias sama dengan UU No 36 Tahun 2000 jo UU No 44 Tahun 2007
Fasilitas tertentu, antara lain :
1.Perpajakan;
2 Kepabeanan;
3. Pertanahan;
4. Keimigrasian; dan
5. Ketenagakerjaan.

Fasilitas non fiskal, berupa kemudahan dan keringanan, antara lain :
  1. bidang perijinan usaha;
  2. kegiatan usaha;
  3. perbankan;
  4. permodalan;
  5. perindustrian;
  6. perdagangan;
  7. kepelabuhan, dan
  8. keamanan.

5.
Kegiatan
  1. Pemasukan dan pengeluaran barang ke dan dari kawasan ;
  2. Pemasukan dan pengeluaran barang ke dan dari kawasan melalui pelabuhan dan bandar udara yang ditunjuk;
  3. Pemasukan barang konsumsi dari luar daerah pabean untuk kebutuhan pendudukan di kawasan.
FTZ  BBK :
Sektor Perdagangan, maritim, industri, perhubungan, perbankan, pariwisata dan bidang lainnya yang akan ditetapkan dengan PP.
Kegiatan usaha di bidang :
  1. Kawasan Pengolahan Eksport;
  2. Tempat Penimbunan Berikat;
  3. Kawasan Industri;
  4. Kawasan Pengembangan Teknologi;
  5. Kawasan Jasa Keuangan; dan
  6. Kawasan Ekonomi lainnya.


6.
Prinsip dan Syarat
  1. Kawasan merupakan wilayah hukum NKRI;
  2. Jangka waktu kawasan 70 tahun;
  3. Fasilitas diberikan kepada pengusaha yang telah mendapat izin dari Badan Pengusahaan;
  4. Pengusaha hanya dapat memasukan barang ke kawasan yang berhubungan dengan kegiatan usahanya;
  5. Jumlah dan jenis barang yang diberikan fasilitas ditetapkan oleh Badan Pengusahaan;
  6. Kawasan berfungi sebagai tempat mengembangkan usaha-usaha di bidang :perdagangan; jasa; industri; pertambangan dan energi; transportasi;maritim dan perikanan; pos dan telekomunikasi; perbankan; asuransi; pariwisata; danbidang-bidang lainnya.
  7. Fungsi tersebut meliputi a. kegiatan manufaktur; rancang bangun; perekayasaan; penyortiran; pemeriksaan awal; pemeriksaan akhir; pengepakan dan pengepakan ulang atas barang dan bahan baku dari dalam dan luar negeri; pelayanan perbaikan atau rekondisi permesinan dan peningkatan mutu;
b. penyediaan dan pengembangan prasarana dan sarana air dan sumber air; prasarana dan sarana perhubungan, termasuk pelabuhan laut dan bandar udara; bangunan dan jaringan listrik; pos dan telekomunikasi, serta prasarana dan sarana lainnya.
Prinsip dan syarata sama dengan UU No 36 Tahun 2000 jo UU No 44 Tahun 2007
  1. Pembentukan KEK diatur dalam Peraturan Pemerintah;
  2. Suatu lokasi dapat diusulkan menjadi KEK jika memenuhi kriteria dasar sebagai berikut:
    1. ada kesanggupan dari pemerintah provinsi/kabupaten/kota yang bersangkutan untuk melaksanakan pengeolaan KEK;
    2. sesuai dengan rencana tata ruang wilayah, ditetapkan sebagai kawasan budidaya dan tidak berpotensi menggangu kawasan lindung;
    3. terletak pada posisi yang strategis yaitu dekat dengan jalur perdagangan internasional atau berdekatan dengan jalur pelayaran internasional di Indonesia atau pada wilaya potensi sumber daya unggulan;
    4. telah tersedia dukungan infrastruktur dan kemungkinan pengembangannya;
    5. tersedia lahan untuk pengembangan yang diusulkan;
    6. memiliki batas yang jelas.


Sumber : Peraturan perundang-undangan dan dianalisis oleh penulis

Kesiapan daerah BBK dalam kegiatan KEK
Batam, Bintan dan Karimun sebagai proyek percontohan KEK sebagaimana MOU antara Pemerintah RI dan Pemerintah Singapura pada tanggal 25 Juni 2006 tetap terus dilanjutkan walaupun instrumen hukum yang tegas belum diundangkan oleh pemerintah. Alasan utama pemerintah[11] menetapkan BBK sebagai KEK karena kondisi infrastruktur yang sudah memadai, besarnya jumlah investasi dalam dan luar negeri di kawasan itu dan lokasi geografis yang strategis. Artinya daerah itu sudah siap untuk dikembangkan sebagai KEKI dalam waktu singkat.
Bahkan kajian akademis[12] tentang kesiapan Batam sebagai Kawasan Ekonomi Khusus telah diserahkan kepada pemerintah sebagai bahan atau narasumber untuk kelak menjadikan Batam sebagai KEK. Dalam laporan[13] tersebut disebutkan bahwa untuk menjadikan Batam sebagai suatu kawasan dalam kategori kelas dunia, maka Batam harus memberikan pelayanan kelas dunia, baik dalam perijinan, perpajakan dan kepabeanan. Selain itu kawasan ini juga dapat memberikan fasilitas keamanan dunia, memiliki infrastruktur kelas dunia, baik untuk fasilitas jalan raya, pelabuhan, airport, transportasi, telekomunikasi, listrik dan baik.
Walaupun MOU sdh ditandatangani dan sudah ada kajian akademis tentang Batam sebagai proyek percontohan KEK, tetapi pelaksanaannya masih terhambat terutama belum jelasnya insentif yang akan diberikan kepada KEK BBK tersebut. Padahal pada saat penandatanganan MOU tersebut, Presiden sudah menjanjikan akan memberikan fasilitas fiskal dan non fiskal kepada calon investor. Adapun fasilitas yang akan dinikmati antara lain di sektor perpajakan, investor yang berinvestasi di kawasan ini akan memperoleh pembebasan pajak dalam jangka waktu minimal lima tahun dan diskon pajak untuk jenis industri tertentu, di sisi bea dan cukai, barang yang keluar masuk pelabuhan ke lokasi usaha atau sebaliknya akan dipermudah dengan pemeriksaan di lokasi usaha, serta di bidang izin investasi akan diberikan oleh badan pengusahaan kawasan dengan pola layanan satu atap di setiap lokasi.
Ketidak jelasan terhadap konsep KEK juga tejadi untuk menentukan daerah di BBK yang akan dijadikan KEK, misalnya di Bintan dan Karimun kawasan itu harus steril serta Badan Kawasan dan Badan Pengusahaannya harus jelas, ungkap Bambang Susanto[14] selaku Sekretaris Tim Nasional KEK Indonesia. Bintan dan Karimun akan diperlakukan berbeda dengan Batam, sebab kedua kawasan ini akan dikembangkan dengan sistem enclave, yakni ada beberapa kawasan ekonomi khusus yang dikelilingi area non ekonomi khusus, sementara Batam berstatus KEK seluruhnya.
Bagi pemda BBK dengan ditunjuknya daerah mereka sebagai proyek percontohan KEK, maka pemda diberikan keleluasaan atau diberi ruang yang lebih luas di dalam mengelola hasil kesepakatan kerjasama ekonomi tersebut, tetapi untuk merealisasikan terhadap kesempatan tersebut tidaklah mudah. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan pemda untuk menindaklanjuti kerjasama tersebut, antara lain :[15]
  1. Kesiapan aparatur di daerah dalam menyikapi masuknya investasi di daerah mereka.
  2. Kesiapan perangkat pendukung proses masuknya investasi; dan
  3. Kesiapan masyarakat yang bermukim di daerah tersebut dengan masuknya kegiatan investasi model Singapora dengan pola kerja seperti di Singapura.
Dipilihnya BBK sebagai KEK memberikan dorongan positif pada pengembangan wilayah Provinsi Kepulauan Riau,  akan tetapi di sisi lain, provinsi-provonsi lain merasa iri hati  dengan situasi tersebut. Apalagi provinsi-provinsi lain tidak mempunyai kriteria lengkap seperti yang terjadi pada KEK di BBK.[16] Untuk itu hendaknya proyek percontohan BBK sebagai KEK harus didukung secara maksimal oleh semua pihak, khususnya oleh pemerintah pusat, sedangkan keinginan daerah lain untuk membentuk KEK di daerahnya harus dilakukan melalui kajian yang cukup komprehensif, karena pembentukan suatu daerah sebagai KEK memerlukan biaya yang cukup besar dan dampak sosial bagi masyarakat di daerah tersebut. Jadi kalaupun ada keinginan pemerintah untuk membentuk 112 KEK sebagaimana diungkapkan oleh Hermanto Dardak selaku Direktur Jenderal Penataan Ruang Departemen Pekerjaan Umum[17], perlu diperhatikan seksama sebab jangan sampai model pemekaran wilayah yang ada saat ini dikembangkan oleh daerah dengan mengembangkan kawasan daerahnya menjadi KEK
Akhirnya untuk menjadikan BBK sebagai KEK, maka nantinya payung hukum atas eksistensi BBK sebagai KEK harus benar-benar diatur secara komprehensif dalam RUU KEK mendatang. Jangan sampai pengalaman FTZ di Batam dalam sistem hukum terulang kembali di KEK. Kekhawatiran ini wajar saja mengingat pernyataan Menteri Perdagangan Mari Eka Pangestu[18] yang mengatakan bahwa terkait dengan belum jelasnya peraturan bagi  invesotr yang berinvestasi di KEK, yang masih menuggu kesiapan instrumen atas KEK tersebut. Kekhwatiran senada juga diungkapkan oleh Kepala Pusat Penelitian Pengembangan Sistem Hukum Nasional Departemen Hukumdan HAM Neltje Saly[19] yang mengatakan bahwa dua kendala besar yang harus dibenahi yaitu aspek legalitas dan kualitas kelembagaan pemerintah.
Untuk menjadikan BBK sebagai kawasan khusus yang bernama KEK, maka percepatan untuk membentuk RUU KEK harus segera dilakukan sebab dengan sudah dijadikan BBK sebagai proyek percontohan, maka pendulum penentu berhasil atau tidak berhasilnya program KEK ini berada kepada pengaturan KEK dalam sistem hukum nasional, khususnya terbentuknya RUU KEK. Apalagi RUU KEK sudah menjadi prioritas program legislasi nasional tahun 2008. Maka sudah saatnya perbedaan kepentingan atas pelaksanaan KEK dapat diakhiri dan semua pihak mau duduk bersama untuk mengatur kepentingan mereka dalam RUU, sehingga dalam waktu yang tidak lama RUU KEK dapat segera dibahas di DPR-RI.
Penutup
UU No 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal telah diundangkan dan perlu ada tindak lanjut atau implementasi dari UU ini, termasuk tindak lanjut dari pengaturan Bab XIV tentang Kawasan Ekonomi Khusus yang perlu diatur kembali dalam suatu RUU KEK. RUU KEK sudah diprioritaskan menjadi salah satu RUU dalam program legislasi nasional tahun 2008. Untuk itu RUU KEK perlu segera mengatur segala permasalahan yang berhubungan dengan kawasan khusus di bidang perekonomian. Sehingga perlu ada koordinasi antara instansi pemerintah yang berkepentingan dengan kawasan ekonomi khusus tersebut, sehingga nantinya tidak ada tumpang tindih pengaturan kepentingan instansi pemerintah tersebut dalam kawasan ekonomi tersebut.
Walaupun saat ini daerah Batam, Bintan dan Karimun sudah dijadikan proyek percontohan dalam KEK tersebut, maka kesiapan pemerintah daerah dalam menerima kegiatan investasi di daerah tersebut perlu diperhatikan seksama, terutama jangan sampai kepentingan daerah dikorbankan dengan masuknya investor asing ke daerah tersebut. Untuk itu perlu ada koordinasi antara pemerintah daerah dan pemerintah pusat dalam menyiapkan instrumen hukum dan sarana prasarana dalam rangka menunjang kegiatan investasi di kawasan tersebut.
Salah satu hal yang berperan dalam kegiatan investasi di daerah KEK adanya Dewan Kawasan dan Badan Pengusahaan KEK, untuk itu kiranya perlu segera dipersiapkan sarana dan prasarana bagi terbentuknya Dewan Kawasan dan Badan Pengusahaan KEK. Kalaupun saat ini sudah ada Otorita Pengembangan Indusrri Pulau Batam, hendaknya Otorita Batam ini selayaknya ditingkatkan menjadi Badan Pengusahaan KEK di Batam, sehingga perangkat keras dan perangka lunak yang sudah ada selama ini dapat dilanjutkan. Terhadap pemerintah daerah setempat yang wilayahnya menjadi bagian KEK, maka perlu ada koordinasi yang tegas antara pemerintah daerah setempat dengan Dewan Kawasan dan Badan Pengusahaan, sehingga jelas tugas pokok dan fungsi di antara lembaga-lembaga tersebut.