Hubungan
Administrasi Negara dengan Ilmu Politik
Politik merupakan dimensi penting dalam administrasi
Negara. Politik dan Administrasi Negara seumpama dua sisi dari keping mata
uang. Politik perumus strategi negara dan administrasi negara implementor strategi
tersebut. Politik tanpa administrasi Negara hanya sekedar jargon dan
janji-janji, sebaliknya administrasi Negara tanpa politik seperti mobil yang
berjalan tanpa arah tujuan. Karena itu, perlu dipahami apa pengertian dan
fungsi politik dan administrasi negara, serta perdebatan
seputar hubungan administrasi negara dengan politik yang telah menjadi isu
klasik dalam ilmu administrasi negara.
1.
Hubungan
antara administrasi negara dan ilmu politik telah berjalan lama, karena secara
praktis tidak ada batas yang tegas antara politik dan administrasi
2.
Orientasi
politik dalam studi administrasi negara meletakkan administrasi negarasebagai
satu elemen dalam proses pemerintahan. Administrasi negara dipandangsebagai
satu aspek dari proses politik dan sebagai bagian dari sistem pemerintahan.
3.
Munculnya
dikhotomi politik-administrasi sebenarnya merupakan gerakan koreksi terhadap
buruknya karakter pemerintah
4.
Dalam
perkembangannya, orientasi politik dalam studi administrasi negara
dikombinasikan dengan orientasi manajerial yang dikenal dengan orientasi
politik-manajerial, dan orientasi sosio-psikologis yang dikenal dengan
orientasi politik-sosio-psikologis
Dalam konteks
penyelenggaraan pemerintahan, Administrasi Publik akan memainkan sejumlah
peranan penting, diantaranya dalam menyelenggarakan pelayanan publik guna
mewujudkan salah satu tujuan utama dibentuknya suatu Negara.
Administrasi publik
di Indonesia dikenal dengan istilah Administrasi Negara. Para ahli mengemukakan
beberapa pengertian mengenai Administrasi Publik/Administrasi Negara, misalnya
saja menurut Gordon (dalam Kasim 1993: 22) administrasi publik adalah studi
tentang seluruh proses, organisasi dan individu yang bertindak sesuai dengan
peran dan jabatan resmi dalam pelaksanaan peraturan perundangan yang
dikeluarkan oleh lembaga legislatif, eksekutif dan peradilan. Berbeda lagi
dengan pandangan dari Ellwein dan Hesse serta Peter (dalam Knill, 2001: 65)
bahwa administrasi publik lebih berfungsi sebagai aplikasi hukum daripada
pembuatan kebijakan dan kurang memiliki fleksibilitas serta diskresi secara
komparatif ketika menerapkan provisi legal. Dalam arti luas, administrasi
publik menurut Henry (1989: 17) merupakan suatu kombinasi teori praktek
birokrasi publik. Tujuan administrasi publik baik menurut Henry (1989) maupun
Garcia dan Khator (1994) ialah untuk memajukan pemahaman tentang pemerintah dan
hubungannya dengan rakyat yang pada gilirannya akan memajukan kebijakan public
yang lebih responsif terhadap tuntutan sosial dan untuk menetapkan praktek
manajemen yang efisien, efektif dan lebih manusiawi.
Berdasarkan perkembangan keadaan, cukup
banyak tantangan yang dihadapi administrasi publik, menurut Johanes Basuki
dalam jurnalnya yang berjudul “Tantangan Ilmu Administrasi Publik: Paradigma
Baru Kepemimpinan Aparatur Negara”, terdapat 21 tantangan yang dihadapi
administrasi publik, yakni, (1) globalisasi ekonomi, (2) pendidikan, (3)
pengangguran, (4) tanggung jawab sosial, (5) pelestarian lingkungan hidup, (6)
peningkatan kualitas hidup, (7) penerapan norma-norma moral dan etika, (8) keanekaragaman
tenaga kerja, (9) pergeseran konfigurasi demografi, (10) penguasaan dan
pemanfaatan IPTEK, (11) tantangan di bidang politik, (12) bencana alam
(tsunami, gempa, banjir-(disaster management), (13) pemanasan global,
(14) kesenjangan sosial, (15) manajemen multikultural, (16) paperless
bureaucracy, (17) global competition, (18) customer loyalty
problem, (19) knowledge base economy; (20) time to market,
dan (21) kualitas kepemimpinan.
Land dan Rosenbloom
(dalam Kasim, 1998) menyatakan administrasi publik harus dilaksanakan dengan
melihat kebutuhan masyarakat. Administrasi publik diharapkan dapat bekerja
secara efisien dan tanggap terhadap kebutuhan masyarakat yang dianggap sebagai
konsumen, sebagaimana halnya perusahaan swasta.
Perkembangan ilmu
administrasi publik dipengaruhi oleh berbagai disiplin ilmu lain, seperti ilmu
politik, hukum, sosiologi, manajemen, ekonomi, dan lain-lain. Oleh karena itu,
konsep administrasi publik sebagai suatu pemikiran yang dipelajari secara
interdisiplin minimal mencakup aspek:
(1) organisasi dan manajemen,
(2) politik, dan
(3) hukum (lihat Kasim, 1993).
Namun, administrasi
publik berbeda dengan ilmu politik berdasarkan penekanannya pada struktur dan
perilaku birokrasi serta metodologi yang digunakan. Administrasi publik juga
berbeda dengan manajemen dalam arti bahwa teknik evaluasi yang digunakan oleh
organisasi publik non-profit tidak sama dengan teknik evaluasi yang digunakan
oleh organisasi privat yang mengejar keuntungan.
Studi Ilmu Politik
yang berkembang pada saat itu ternyata tidak mampu memecahkan persoalan
tersebut karena memang 3 fokus kajian Ilmu Politik bukan pada bagaimana
mengelola pemerintahan dengan efektif dan efisien, melainkan lebih pada urusan
tentang sebuah konstitusi dan bagaimana keputusan-keputusan politik dirumuskan.
Dalam tulisannya tersebut Wilson (1887: 1) mengatakan: “No one wrote
systematically of administration as a branch of the science of government until
the present century had passed it first youth and had begun to put forth its
characteristic flower of systematic knowledge. Up to our own day all the
political writers whom we now read and though, argued, dogmatized, only about
the constitution of governments; about nature of the state, the essence and
seat of sovereignty, popular power and kingly prerogative…The central field of
controversy was that great field of theory in which monarchy rode tilt against
democracy, in which oligarchy would have built for itself strongholds of
privilege, and in which tyranny sought opportunity to make good its claim to
receive submission from all competitors. The question, how law should be
administered with enlightenment, with equity, with speed, and without friction,
was put aside as a practical detail which clerks could arrange after doctor had
agreed upon principles”
Arti
politik yang terekam dari berbagai referensi ilmu politik
disimpulkan terdapat tiga penjelasan.
Pertama, mengidentifikasikan kategori-kategori aktivitas yang
membentuk politik. Dalam hal ini Paul Conn menganggap konflik sebagai esensi
politik. Kedua, menyusun suatu rumusan yang dapat merangkum
apa saja yang dapat dikategorikan sebagai politik. Politik dapat dirumuskan
sebagai “siapa mendapat apa, kapan dan bagaimana”. Ketiga, menyusun
daftar pertanyaan yang harus dijawab untuk memahami politik. Melalui daftar
pertanyaan diharapkan dapat memberi jawaban dengan gambaran yang tepat mengenai
politik (Surbakti, 1992). Jadi politik akan terkait dengan kekuasaan, negara
dan pengaturan hidup bersama dalam upaya mencapai kebaikan bermasyarakat.
v
Pengaruh
Sistem Politik Terhadap Administrasi Negara
Politik dan administrasi
negara sangatlah erat berkaitan, ini dibuktikan dengan politik merupakan pangkal
tolak administrasi negara dan administrasi negara adalah merupakan kelanjutan
dari proses politik. Menurut Woodrow Wilson (1974), administrasi adalah
kelanjutan dari sebuah kebijakan artinya administrasi berjalan ketika sebuah
kebijakan yang dihasilkan dari proses politik itu terjaga kestabilannya.
Mempelajari negara dan pemerintahannya berarti mempelajari kekuatan dan
kekuasaan dan hal tersebut merupakan salah satu dari tujuan atau orientasi dari
kontestasi politik yakni kekuasaan.
Ketika meninjau pengaruh politik terhadap administrasi negara, suatu hal yang perlu untuk diperhatikan adalah sistem politik. Sistem politik adalah sistem pola hubungan kekuasaan dalam pemerintahan dan hubungan kekuasaan pemerintah dengan konstituennya (yakni rakyat). Sistem politik mencakup hubungan pengemban kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif. Bagaimana pola hubungan pemerintah dengan wakil-wakil rakyat diparlemen, bagaimana rakyat diorganisir untuk dapat mengefektifkan kekuasaan (kepartaian).
Administrasi negara yang memberikan sebuah pelayanan yang prima kepada publik itu dicapai ketika terjadinya kestabilan politik disuatu negara. Administrasi negara yang dijalankan oleh para birokrat, sangatlah dipengaruhi ketika terjadinya gesekan-gesekan kepentingan politis yang melingkupi pemerintahan yang secara tidak langsung berimplikasi dengan stagnannya agenda formulasi kebijakan yang telah direncanakan. Agenda kebijakan merupakan rumusan dari berbagai janji politik pasangan calon presiden dan wakil presiden ketika kampanye sekaligus merupakan agregasi dari kepentingan elit partai pendukung mereka ketika kampanye dulu. ketika pemerintah tidak mampu meredam berbagai pertentangan sekaligus tarik-menarik kepentingan dalam agenda kebijakan yang telah disusunnya dan mengelaborasi berbagai perbedaan tersebut menjadi suatu hal yang sinergis, maka akibatnya adalah terjadinya stagnasi agenda kebijakan.
Sebuah misi guna menciptakan sebuah proses menuju sebuah good governance yang mengikutsertakan peran partisipasi politik masyarakat secara aktif hanya tinggal mimpi yang meninggalkan luka yang cukup dilematis.
Sejarah pengaruh sistem politik terhadap administrasi Negara
Sistem politik pemerintah era orde lama pra dekrit presiden, sangatlah tergantung kepada dukungan parlemen karena sistem parlementer yang diusung pemerintah ketika itu yang secara aklamasi menciptakan kekuatan parlemen yang sangat luas. Di indonesia ketika itu seperti sekarang ini mengusung sistem multi partai sehingga tidak ada satu partai-pun yang menjadi partai dominan atau mayoritas yang mampu membentuk pemerintahan tanpa kerja sama atau koalisi dengan partai-partai lain.
Akibatnya pemerintah dalam pembentukan kabinet guna merealisasikan program kerja pemerintah, selalu dilandasi dengan kerja sama atau koalisi dari beberapa partai yang diikuti oleh pembagian “kue” yakni jatah kursi menteri-menteri yang akan memimpin departemen.
Ketika partai telah memperoleh pembagian jatah kursi menteri, maka kemudian yang terjadi adalah departemen-departemen tersebut seolah menjadi milik partai dan jabatan-jabatan strategis dilingkungan departemen tersebut pastilah diisi oleh orang-orang partai asal si menteri. Dalam keadaan yang demikian ekstrim, pengisian tersebut kadang-kadang mengabaikan norma kepegawaian yang telah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan yang ada. Akibat lanjutnya adalah staff kementrian tersebut kurang mampu, penempatan pegawai tidak tepat sehingga administrasi negara tidak berjalan dengan efektif.
Oleh karena kedudukan menteri sangatlah erat dengan konstelasi politik antar partai pengusung kekuasaan dan juga bargaining politik antar elit partai, maka seorang menteri bisa saja berhenti ketika partainya tidak mampu menempatkan dirinya sesuai sebagaimana seharusnya dilingkaran kekuasaan. Untuk itulah, partai politk era orde lama begitu menjadi “impotent” ketika melihat tampuk kekuasaan itu mengelilingi diri seorang Soekarno. Untuk itu elit partai ketika itu apabila ingin “langgeng” kekuasaannya, harus tetap selalu berada dilingkaran seputaran kekuasaan Soekarno walaupun itu menanggalkan prinsip-prinsip kepartai-an itu sendiri.
Pada aspek kelembagaan terjadi perkembangan yang paradoks. Oleh karena administrasi negara ada dibawah pimpinan pejabat-pejabat partai politik yang berorientasi kepada partai politik tertentu, maka sering terjadi pembentukan suatu badan/lembaga tertentu baru atau unit-unit baru dalam suatu kementrian, Walaupun secara terselubung dilatar belakangi kepentingan untuk menempatkan orang-orang partai pada jabatan-jabatan dalam badan/lembaga yang baru terbentuk. Lambat laun terciptanya struktur organisasi administrasi yang tidak efisien akibat adanya suatu organisasi yang tidak jelas tugas dan fungsinya dan juga tumpang tindih arah kerja ketika beberapa organisasi mempunyai tugas dan fungsi yang sama, birokrasi berlebih-lebihan yang menghambat proses kerja dan abuse of power.
Ketika Era orde baru, mulailah diambil langkah-langkah guna membenahi sistem administrasi di negara ini yakni salah satunya dengan jalan mengurangi pengaruh pertai-partai politik (asas tunggal maupun fusi parpol) dan juga dalam jajaran kabinet dibentuk porsi khusus guna membenahi aparatur negara (dalam hal ini birokratnya) yaitu menteri negara pemberdayaan aparatur negara yang dilantik tanggal 10 juni 1968. selain itu, diambil langkah-langkah positif pula yakni fungsionalisasi, restrukturisasi dan penempatan yang proporsional. Birokratisasi yang sesuai dengan perkembangan keadaan (kaidah max weber akan potensi hierarkis birokrasi tersebut untuk mengefisienkan kerja organisasi) sehingga ada kejelasan organisasi maupun pola kerjanya.
Disamping itu adanya perbaikan kompensasi pegawai mendapat perhatian khusus dari pemerintah dengan memberi kenaikan gaji beberapa kali lipat. Guna meningkatkan pelayanan publik, para aparatur negara yang memberikan pelayanan tersebut juga haruslah makmur atau sejahtera hidupnya. Analisa pemerintah dengan dinaikkannya tingkat kesejahteraan pegawai pemerintah, maka akan memperkecil adanya kesempatan untuk melakukan tindak korupsi atau penyalahgunaan wewenang akibat keterpurukkan taraf hidup ekonomi para aparat pemerintah. Pemerintah merencanakan dengan sebuah kesinergisan dan keharmonisan antar pelaku maupun objek kebijakan maka suatu pelayanan publik yang prima itu akan terealisasikan.
Namun ironisnya yang terjadi kemudian, terjadinya egaliterisme pemerintahan. Pemerintah orde baru yang pada awalnya begitu eksoistik, lama kelamaan memperlihatkan kerapuhan organisasinya. Sentralisasi yang berlebihan mengakibatkan terpusatnya segala kebijakan tanpa mempertimbangkan aspek budaya lokal dalam pemutusan kebijakannya. Pemerintah orde baru ketika itu melakukan “pukul rata” dalam memutuskan undang-undang peraturan tanpa mengindahkan apakah daerah tersebut sesuai dengan arah kebijakan tersebut karena perlu diperhatikan, indonesia adalah sebuah bangsa dan negara yang majemuk, daerah yang satu dengan yang lainnya itu sangat berbeda baik dari segi kultur budaya maupun kemampuan ekonominya. Korupsi yang terjadi akhirnya dilingkaran seputar kekuasaan, yang diakibatkan akumulasi kapital yang berlebihan pada sebagian konglomerat yang awalnya diharapkan menjadi faktor potensial penciptaan lapangan kerja di Indonesia. Perlu diperhatikan,awalnya Soeharto melihat dengan menumpukkan kapital di salah satu konglomerat maka efek Feedbacknya akan terciptanya “rembesan ke bawah” -kalau merujuk Woodrow Wilson- para konglomerat tersebut akhirnya akan membuka faktor produksi yakni perusahaan yang pada akhirnya akan menyerap tenaga kerja dilingkungan perusahaan tersebut.
Selain itu, budaya militer pun mempengaruhi disfungsi birokrasi Politik militer yang tanpa tanding (oposisi) mengakibatkan pemerintah kehilangan kontrol, pemerintah merasa segala tindak lakunya tidak akan ada penghalangnya. Ini berakibat dengan dekonsistensi organisasi, banyaknya para pejabat yang korup yang pada akhirnya budaya korupsi pun tercipta dikarenakan tidak adanya pengetatan hukum ketika itu. Arah dari pemerintah ketka itu ialah pembangunan ekonomi, sedangkan ironisnya hukum yang seharusnya menjadi partner dari pelaksanaan kebijakan tersebut diabaikan. Rentetan kerapuhan birorasi indonesia yang seharusnya berorientasi kepada pelayanan publik, dikarenakan budaya matrealismenya berubah 1800 menjadi oriented profit sehingga birokrasi menjadi dipersulit apabila bagi kaum subaltern yang tak bermateri. Lambat laun hal inilah yang akhirnya menyebabkan tingkat birokrasi kita semakin tidak tentu arahnya.
birokrasi di Indonesia adalah sebuah system birokrasi 3 generasi perubahan yakni warisan birokrasi zaman kolonial penjajahan (birokrasi warisan belanda), system birokrasi warisan orde lama, dan terakhir system birokrasi warisan orde baru. Ketiga system birokrasi tersebut kemudian saling bertransformasi menjadi budaya birokrasi seperti yang kita rasakan sekarang ini.
Budaya birokrasi yang paling kentara pengaruhnya yakni budaya birokrasi era orde baru yang mengusung paradigma “birokrasi untuk dilayani”. Paradigma birokrasi yang seharusnya melayani kepentingan publik ketika orde baru malah sebaliknya, publik secara sukarela selalu saja harus menanggung kewajiban tanpa dibarengi akan haknya sebagai warga negara. “Warga negara yang baik haruslah taat menaati segala peraturan pemerintah”, itulah jargon yang selalu di dengung-dengungkan pemerintah era orde baru. Masyarakat secara masif diharuskan membayar segala jenis pajak, retribusi dan lainnya tanpa dibarengi peningkatan kualitas pelayanan yang prima bagi mereka.
Budaya birokrasi yang ingin dilayani secara tidak sadar malah membuat para aparatur birokratnya membudayakan birokrasi yang omnipotent, yaitu budaya birokrasi yang mandul.
Pengaruh politik terhadap administarsi negara dewasa ini
Dalam era desentralisasi maupun otonomi daerah seperti sekarang ini, tentulah sangat lebih kompleks lagi apabila menelaah pengaruh politik terhadap administrasi kebijakan di daerah yang antar daerah berbeda dalam variabel-variabel pengaruh yang ditimbulkannya. Namun secara garis besar dapat ditarik benang merah dari pengaruh-pengaruh aspek politis tersebut terhadap administrasi kebijakannya.
Seorang Jorge Lowell pernah berujar dalam bukunya “Reformation birokrasi in globalitation era” (2001) bahwa kesalahan terbesar bagi sakitnya birokrasi adalah kepada disfungsi systemnya. Ia berujar bahwa systemlah yang akan meregulasi para aparatur birokrasi menjadi lebih efektif. Ia kembali berujar bahwa system mempunyai variabel-variabel terluas bagi kepentingan sebuah keefektifan organisasi. Dalam ruang lingkup system ia menambahkan, adanya banyak ekses-ekses yang sangat urgens guna memulihkan suatu birokrasi yang sakit adalah dengan reformasi atau ruitalisasi terhadap systemnya.
Ketika kita bandingkan dengan keadaan birokrasi di Indonesia jelas terdapat hal-hal yang berbeda akan sebuah systemnya. Seorang Woodrow Wilson pernah berujar akan keheranannya terhadap system birokrasi yang dipengaruhi akan system atau konfigurasi politik. Ia menambahkan bahwa system politik yang termanifestasi lewat pemilu mempunyai efek domino terbesar akan sakitnya birokrasi di Indonesia. Pada dasarnya dari penjelasannya, ia berpendapat dosa terbesar bagi sakitnya birokrasi kita ialah pada systemnya. Menurut ia “When the processing of politic is finish, the birokration is begin”, artinya birokrasi itu di mulai ketika proses politik yakni pemilu itu telah selesai birokrasi berjalan. Administrasi Negara adalah kelanjutan dari proses politik namun bukan bagian dari proses politik praktis. Adanya birokrasi hanyalah sebatas pelaksanaan administrasi proses politik, Artinya, administrasi Negara itu ada untuk menciptakan ketertiban proses politik, namun tidak di infiltrasi oleh proses (hasil) politik.
Dalam proses politik di negara Indonesia, cenderung meninggalkan kuka-luka yang cukup menyebabkan kita kembali sakit. Proses politik di Indonesia kadang tidak terselesaikan setelah proses pemilu. Secara konkret kita melihat bahwa ada ekses-ekses lain yang terjadi setelah pemilu. Perang kepentingan masih terjadi setelah pemilu yang parahnya malah membuat para aparatur birokratnya menjadi kehilangan kenetralitasannya padahal dalam aspek tata perilaku seorang birokrat ialah ia harus netral atau sebagai stabilisator konflik. Contoh realnya ialah terjadi di Banten ketika ada mutasi besar-besaran terhadap beberapa pejabat eselon II yang pada akhirnya "non job" yang menurut kebanyakan pengamat adalah merupakan implikasi semakin dekatnya ajang pilkadal di tahun 2006 ketika itu
Dari contoh kasus diatas, dapat ditarik sebuah benang merahnya yaitu jalannya sebuah administrasi kebijakan negara yang baik itu itu diawali dengan pra kondisi kestabilan politik. Tanpa sebuah kestabilan politik tentu saja sebuah keniscayaan administrasi negara yang handal, efisien dan menghasilkan output yang prima hanya menjadi mimpi-mimpi belaka yang tak akan pernah usai. Politik dan administrasi adalah dua rangkai mechanism yang seharusnya saling mendamaikan. Administrasi Negara ada untuk mentertibkan proses politik, sedangkan hasil proses politik sudah seharusnya mendewasakan aparatur birokrasi di negeri ini. Terdapat garis demarkasi yang jelas antar keduanya, agar relasi pengaruh keduanya adalah positif bukan malah bersifat korosif.
1.2 Pengaruh Administrasi Negara Terhadap Sistem Politik
Pengaruh administrasi Negara terhadap system politik dapat ditelurusi bertitik tolak pada maklumat Pemerintah 3 November 1945 yang berisi anjuran Pemerintah tentang pembentukan partai-partai politik. Partai-partai politik yang secara resmi berdiri setelah maklumat tersebut ialah : Masyumi, PKI, PBI (Persatuan Buruh Indonesia), Partai Rakyat Jelata, Parkindo, PSI, Partai Rakyat Sosialis, Partai Katolik, Permai (Partai Rakyat Marhaen Indonesia) dan PNI. Dalam prkembangan selanjutnya jumlah partai tersebut bertambah baik karena berdirinya partai baru maupun karena pecahnya partai-partai yang telah ada. Sampai akhirnya pada Pemilihan Umum tahun 1955 jumlah tersebut mencapai jumlah lebih dari 27 partai. Setelah DPR terbentuk yang terdiri dari wakil-wakil partai politik yang demikian banyak jumlahnya maka dibentuklah fraksi-fraksi yang jumlahnya disederhanakan menjadi 19, karena ada penggabungan wakil-wakil beberapa partai kecil kedalam satu fraksi.31) Dengan system kepartaian yang demikian itu oleh Pemerintah dirasakan kurang dapat menjamin kesatuan dan persatuan Nasional dalam Rangka mengejar cita-cita bangsa. Berdasarkan Penetapan President No.7 tahun 1959 tentang syarat-syarat dan penyederhanaan kepartaian, sehingga hasilnya jumlah partai-partai berkurang, walaupun jumlahnya masih cukup banyak yaitu 10 partai. Pada perekembangan selanjutnya dalam percaturan politik muncullah golongan-golongan fungsional (buruh, tani, dan lain-lainnya) yang kemudian membentuk Sekretariat Bersama Golongan Karya. Dalam rangka pemurnian wakil-wakil golongan fungsional dalam DPRD yang berafiliasi dengan partai-partai tertentu diberhentikan dan digantikan oleh mereka yang tidak berafiliasi dengan partai tertentu.
Dengan partai politik yang sekian banyaknya dirasakan masih belum dapat menjamin kesatuan dan persatuan nasional terutama dalam menunjang usaha-usaha pembangunan. Maka oleh Administrasi Negara dilakukan usaha-usaha selanjutnya untuk menyederhanakan jumlah partai-partai. Setelah dilakukan pembahasan yang mendalam maka disetujui oleh administrasi Negara, bahwa akan dilakukan fusi antara partai-partai yang berdasar islam kedalam satu partai, demikian pula sisa partai lainnya juga akan berfusi ke dalam satu sehingga terdapat dua partai dan Golongan Politik dan Golongan Karya. Kedua Parpol tersebut ialah Partai Persatuan Pembangunan (P3) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI).
Ketika meninjau pengaruh politik terhadap administrasi negara, suatu hal yang perlu untuk diperhatikan adalah sistem politik. Sistem politik adalah sistem pola hubungan kekuasaan dalam pemerintahan dan hubungan kekuasaan pemerintah dengan konstituennya (yakni rakyat). Sistem politik mencakup hubungan pengemban kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif. Bagaimana pola hubungan pemerintah dengan wakil-wakil rakyat diparlemen, bagaimana rakyat diorganisir untuk dapat mengefektifkan kekuasaan (kepartaian).
Administrasi negara yang memberikan sebuah pelayanan yang prima kepada publik itu dicapai ketika terjadinya kestabilan politik disuatu negara. Administrasi negara yang dijalankan oleh para birokrat, sangatlah dipengaruhi ketika terjadinya gesekan-gesekan kepentingan politis yang melingkupi pemerintahan yang secara tidak langsung berimplikasi dengan stagnannya agenda formulasi kebijakan yang telah direncanakan. Agenda kebijakan merupakan rumusan dari berbagai janji politik pasangan calon presiden dan wakil presiden ketika kampanye sekaligus merupakan agregasi dari kepentingan elit partai pendukung mereka ketika kampanye dulu. ketika pemerintah tidak mampu meredam berbagai pertentangan sekaligus tarik-menarik kepentingan dalam agenda kebijakan yang telah disusunnya dan mengelaborasi berbagai perbedaan tersebut menjadi suatu hal yang sinergis, maka akibatnya adalah terjadinya stagnasi agenda kebijakan.
Sebuah misi guna menciptakan sebuah proses menuju sebuah good governance yang mengikutsertakan peran partisipasi politik masyarakat secara aktif hanya tinggal mimpi yang meninggalkan luka yang cukup dilematis.
Sejarah pengaruh sistem politik terhadap administrasi Negara
Sistem politik pemerintah era orde lama pra dekrit presiden, sangatlah tergantung kepada dukungan parlemen karena sistem parlementer yang diusung pemerintah ketika itu yang secara aklamasi menciptakan kekuatan parlemen yang sangat luas. Di indonesia ketika itu seperti sekarang ini mengusung sistem multi partai sehingga tidak ada satu partai-pun yang menjadi partai dominan atau mayoritas yang mampu membentuk pemerintahan tanpa kerja sama atau koalisi dengan partai-partai lain.
Akibatnya pemerintah dalam pembentukan kabinet guna merealisasikan program kerja pemerintah, selalu dilandasi dengan kerja sama atau koalisi dari beberapa partai yang diikuti oleh pembagian “kue” yakni jatah kursi menteri-menteri yang akan memimpin departemen.
Ketika partai telah memperoleh pembagian jatah kursi menteri, maka kemudian yang terjadi adalah departemen-departemen tersebut seolah menjadi milik partai dan jabatan-jabatan strategis dilingkungan departemen tersebut pastilah diisi oleh orang-orang partai asal si menteri. Dalam keadaan yang demikian ekstrim, pengisian tersebut kadang-kadang mengabaikan norma kepegawaian yang telah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan yang ada. Akibat lanjutnya adalah staff kementrian tersebut kurang mampu, penempatan pegawai tidak tepat sehingga administrasi negara tidak berjalan dengan efektif.
Oleh karena kedudukan menteri sangatlah erat dengan konstelasi politik antar partai pengusung kekuasaan dan juga bargaining politik antar elit partai, maka seorang menteri bisa saja berhenti ketika partainya tidak mampu menempatkan dirinya sesuai sebagaimana seharusnya dilingkaran kekuasaan. Untuk itulah, partai politk era orde lama begitu menjadi “impotent” ketika melihat tampuk kekuasaan itu mengelilingi diri seorang Soekarno. Untuk itu elit partai ketika itu apabila ingin “langgeng” kekuasaannya, harus tetap selalu berada dilingkaran seputaran kekuasaan Soekarno walaupun itu menanggalkan prinsip-prinsip kepartai-an itu sendiri.
Pada aspek kelembagaan terjadi perkembangan yang paradoks. Oleh karena administrasi negara ada dibawah pimpinan pejabat-pejabat partai politik yang berorientasi kepada partai politik tertentu, maka sering terjadi pembentukan suatu badan/lembaga tertentu baru atau unit-unit baru dalam suatu kementrian, Walaupun secara terselubung dilatar belakangi kepentingan untuk menempatkan orang-orang partai pada jabatan-jabatan dalam badan/lembaga yang baru terbentuk. Lambat laun terciptanya struktur organisasi administrasi yang tidak efisien akibat adanya suatu organisasi yang tidak jelas tugas dan fungsinya dan juga tumpang tindih arah kerja ketika beberapa organisasi mempunyai tugas dan fungsi yang sama, birokrasi berlebih-lebihan yang menghambat proses kerja dan abuse of power.
Ketika Era orde baru, mulailah diambil langkah-langkah guna membenahi sistem administrasi di negara ini yakni salah satunya dengan jalan mengurangi pengaruh pertai-partai politik (asas tunggal maupun fusi parpol) dan juga dalam jajaran kabinet dibentuk porsi khusus guna membenahi aparatur negara (dalam hal ini birokratnya) yaitu menteri negara pemberdayaan aparatur negara yang dilantik tanggal 10 juni 1968. selain itu, diambil langkah-langkah positif pula yakni fungsionalisasi, restrukturisasi dan penempatan yang proporsional. Birokratisasi yang sesuai dengan perkembangan keadaan (kaidah max weber akan potensi hierarkis birokrasi tersebut untuk mengefisienkan kerja organisasi) sehingga ada kejelasan organisasi maupun pola kerjanya.
Disamping itu adanya perbaikan kompensasi pegawai mendapat perhatian khusus dari pemerintah dengan memberi kenaikan gaji beberapa kali lipat. Guna meningkatkan pelayanan publik, para aparatur negara yang memberikan pelayanan tersebut juga haruslah makmur atau sejahtera hidupnya. Analisa pemerintah dengan dinaikkannya tingkat kesejahteraan pegawai pemerintah, maka akan memperkecil adanya kesempatan untuk melakukan tindak korupsi atau penyalahgunaan wewenang akibat keterpurukkan taraf hidup ekonomi para aparat pemerintah. Pemerintah merencanakan dengan sebuah kesinergisan dan keharmonisan antar pelaku maupun objek kebijakan maka suatu pelayanan publik yang prima itu akan terealisasikan.
Namun ironisnya yang terjadi kemudian, terjadinya egaliterisme pemerintahan. Pemerintah orde baru yang pada awalnya begitu eksoistik, lama kelamaan memperlihatkan kerapuhan organisasinya. Sentralisasi yang berlebihan mengakibatkan terpusatnya segala kebijakan tanpa mempertimbangkan aspek budaya lokal dalam pemutusan kebijakannya. Pemerintah orde baru ketika itu melakukan “pukul rata” dalam memutuskan undang-undang peraturan tanpa mengindahkan apakah daerah tersebut sesuai dengan arah kebijakan tersebut karena perlu diperhatikan, indonesia adalah sebuah bangsa dan negara yang majemuk, daerah yang satu dengan yang lainnya itu sangat berbeda baik dari segi kultur budaya maupun kemampuan ekonominya. Korupsi yang terjadi akhirnya dilingkaran seputar kekuasaan, yang diakibatkan akumulasi kapital yang berlebihan pada sebagian konglomerat yang awalnya diharapkan menjadi faktor potensial penciptaan lapangan kerja di Indonesia. Perlu diperhatikan,awalnya Soeharto melihat dengan menumpukkan kapital di salah satu konglomerat maka efek Feedbacknya akan terciptanya “rembesan ke bawah” -kalau merujuk Woodrow Wilson- para konglomerat tersebut akhirnya akan membuka faktor produksi yakni perusahaan yang pada akhirnya akan menyerap tenaga kerja dilingkungan perusahaan tersebut.
Selain itu, budaya militer pun mempengaruhi disfungsi birokrasi Politik militer yang tanpa tanding (oposisi) mengakibatkan pemerintah kehilangan kontrol, pemerintah merasa segala tindak lakunya tidak akan ada penghalangnya. Ini berakibat dengan dekonsistensi organisasi, banyaknya para pejabat yang korup yang pada akhirnya budaya korupsi pun tercipta dikarenakan tidak adanya pengetatan hukum ketika itu. Arah dari pemerintah ketka itu ialah pembangunan ekonomi, sedangkan ironisnya hukum yang seharusnya menjadi partner dari pelaksanaan kebijakan tersebut diabaikan. Rentetan kerapuhan birorasi indonesia yang seharusnya berorientasi kepada pelayanan publik, dikarenakan budaya matrealismenya berubah 1800 menjadi oriented profit sehingga birokrasi menjadi dipersulit apabila bagi kaum subaltern yang tak bermateri. Lambat laun hal inilah yang akhirnya menyebabkan tingkat birokrasi kita semakin tidak tentu arahnya.
birokrasi di Indonesia adalah sebuah system birokrasi 3 generasi perubahan yakni warisan birokrasi zaman kolonial penjajahan (birokrasi warisan belanda), system birokrasi warisan orde lama, dan terakhir system birokrasi warisan orde baru. Ketiga system birokrasi tersebut kemudian saling bertransformasi menjadi budaya birokrasi seperti yang kita rasakan sekarang ini.
Budaya birokrasi yang paling kentara pengaruhnya yakni budaya birokrasi era orde baru yang mengusung paradigma “birokrasi untuk dilayani”. Paradigma birokrasi yang seharusnya melayani kepentingan publik ketika orde baru malah sebaliknya, publik secara sukarela selalu saja harus menanggung kewajiban tanpa dibarengi akan haknya sebagai warga negara. “Warga negara yang baik haruslah taat menaati segala peraturan pemerintah”, itulah jargon yang selalu di dengung-dengungkan pemerintah era orde baru. Masyarakat secara masif diharuskan membayar segala jenis pajak, retribusi dan lainnya tanpa dibarengi peningkatan kualitas pelayanan yang prima bagi mereka.
Budaya birokrasi yang ingin dilayani secara tidak sadar malah membuat para aparatur birokratnya membudayakan birokrasi yang omnipotent, yaitu budaya birokrasi yang mandul.
Pengaruh politik terhadap administarsi negara dewasa ini
Dalam era desentralisasi maupun otonomi daerah seperti sekarang ini, tentulah sangat lebih kompleks lagi apabila menelaah pengaruh politik terhadap administrasi kebijakan di daerah yang antar daerah berbeda dalam variabel-variabel pengaruh yang ditimbulkannya. Namun secara garis besar dapat ditarik benang merah dari pengaruh-pengaruh aspek politis tersebut terhadap administrasi kebijakannya.
Seorang Jorge Lowell pernah berujar dalam bukunya “Reformation birokrasi in globalitation era” (2001) bahwa kesalahan terbesar bagi sakitnya birokrasi adalah kepada disfungsi systemnya. Ia berujar bahwa systemlah yang akan meregulasi para aparatur birokrasi menjadi lebih efektif. Ia kembali berujar bahwa system mempunyai variabel-variabel terluas bagi kepentingan sebuah keefektifan organisasi. Dalam ruang lingkup system ia menambahkan, adanya banyak ekses-ekses yang sangat urgens guna memulihkan suatu birokrasi yang sakit adalah dengan reformasi atau ruitalisasi terhadap systemnya.
Ketika kita bandingkan dengan keadaan birokrasi di Indonesia jelas terdapat hal-hal yang berbeda akan sebuah systemnya. Seorang Woodrow Wilson pernah berujar akan keheranannya terhadap system birokrasi yang dipengaruhi akan system atau konfigurasi politik. Ia menambahkan bahwa system politik yang termanifestasi lewat pemilu mempunyai efek domino terbesar akan sakitnya birokrasi di Indonesia. Pada dasarnya dari penjelasannya, ia berpendapat dosa terbesar bagi sakitnya birokrasi kita ialah pada systemnya. Menurut ia “When the processing of politic is finish, the birokration is begin”, artinya birokrasi itu di mulai ketika proses politik yakni pemilu itu telah selesai birokrasi berjalan. Administrasi Negara adalah kelanjutan dari proses politik namun bukan bagian dari proses politik praktis. Adanya birokrasi hanyalah sebatas pelaksanaan administrasi proses politik, Artinya, administrasi Negara itu ada untuk menciptakan ketertiban proses politik, namun tidak di infiltrasi oleh proses (hasil) politik.
Dalam proses politik di negara Indonesia, cenderung meninggalkan kuka-luka yang cukup menyebabkan kita kembali sakit. Proses politik di Indonesia kadang tidak terselesaikan setelah proses pemilu. Secara konkret kita melihat bahwa ada ekses-ekses lain yang terjadi setelah pemilu. Perang kepentingan masih terjadi setelah pemilu yang parahnya malah membuat para aparatur birokratnya menjadi kehilangan kenetralitasannya padahal dalam aspek tata perilaku seorang birokrat ialah ia harus netral atau sebagai stabilisator konflik. Contoh realnya ialah terjadi di Banten ketika ada mutasi besar-besaran terhadap beberapa pejabat eselon II yang pada akhirnya "non job" yang menurut kebanyakan pengamat adalah merupakan implikasi semakin dekatnya ajang pilkadal di tahun 2006 ketika itu
Dari contoh kasus diatas, dapat ditarik sebuah benang merahnya yaitu jalannya sebuah administrasi kebijakan negara yang baik itu itu diawali dengan pra kondisi kestabilan politik. Tanpa sebuah kestabilan politik tentu saja sebuah keniscayaan administrasi negara yang handal, efisien dan menghasilkan output yang prima hanya menjadi mimpi-mimpi belaka yang tak akan pernah usai. Politik dan administrasi adalah dua rangkai mechanism yang seharusnya saling mendamaikan. Administrasi Negara ada untuk mentertibkan proses politik, sedangkan hasil proses politik sudah seharusnya mendewasakan aparatur birokrasi di negeri ini. Terdapat garis demarkasi yang jelas antar keduanya, agar relasi pengaruh keduanya adalah positif bukan malah bersifat korosif.
1.2 Pengaruh Administrasi Negara Terhadap Sistem Politik
Pengaruh administrasi Negara terhadap system politik dapat ditelurusi bertitik tolak pada maklumat Pemerintah 3 November 1945 yang berisi anjuran Pemerintah tentang pembentukan partai-partai politik. Partai-partai politik yang secara resmi berdiri setelah maklumat tersebut ialah : Masyumi, PKI, PBI (Persatuan Buruh Indonesia), Partai Rakyat Jelata, Parkindo, PSI, Partai Rakyat Sosialis, Partai Katolik, Permai (Partai Rakyat Marhaen Indonesia) dan PNI. Dalam prkembangan selanjutnya jumlah partai tersebut bertambah baik karena berdirinya partai baru maupun karena pecahnya partai-partai yang telah ada. Sampai akhirnya pada Pemilihan Umum tahun 1955 jumlah tersebut mencapai jumlah lebih dari 27 partai. Setelah DPR terbentuk yang terdiri dari wakil-wakil partai politik yang demikian banyak jumlahnya maka dibentuklah fraksi-fraksi yang jumlahnya disederhanakan menjadi 19, karena ada penggabungan wakil-wakil beberapa partai kecil kedalam satu fraksi.31) Dengan system kepartaian yang demikian itu oleh Pemerintah dirasakan kurang dapat menjamin kesatuan dan persatuan Nasional dalam Rangka mengejar cita-cita bangsa. Berdasarkan Penetapan President No.7 tahun 1959 tentang syarat-syarat dan penyederhanaan kepartaian, sehingga hasilnya jumlah partai-partai berkurang, walaupun jumlahnya masih cukup banyak yaitu 10 partai. Pada perekembangan selanjutnya dalam percaturan politik muncullah golongan-golongan fungsional (buruh, tani, dan lain-lainnya) yang kemudian membentuk Sekretariat Bersama Golongan Karya. Dalam rangka pemurnian wakil-wakil golongan fungsional dalam DPRD yang berafiliasi dengan partai-partai tertentu diberhentikan dan digantikan oleh mereka yang tidak berafiliasi dengan partai tertentu.
Dengan partai politik yang sekian banyaknya dirasakan masih belum dapat menjamin kesatuan dan persatuan nasional terutama dalam menunjang usaha-usaha pembangunan. Maka oleh Administrasi Negara dilakukan usaha-usaha selanjutnya untuk menyederhanakan jumlah partai-partai. Setelah dilakukan pembahasan yang mendalam maka disetujui oleh administrasi Negara, bahwa akan dilakukan fusi antara partai-partai yang berdasar islam kedalam satu partai, demikian pula sisa partai lainnya juga akan berfusi ke dalam satu sehingga terdapat dua partai dan Golongan Politik dan Golongan Karya. Kedua Parpol tersebut ialah Partai Persatuan Pembangunan (P3) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI).
Kesimpulan
Dengan demikian politik itu
bersangkut paut dengan Negara dan dengan sendirinya juga bersangkut paut dengan
pemerintahan dan kekuasaan. Sebaliknya dengan fungsi, Administrasi Negara merupakan usaha-usaha
melaksanakaan khendak dari pada Negara (the execution of the will of the
state). Jadi dengan demikian bahwa sistem politik dan administrasi Negara
sangat erat berkaitan. Politik merupakan pangkal tolak Administrasi Negara dan
Administrasi Negara merupakan kelanjutan dari politik.
good luck
BalasHapusTabe..bagi kawan yang mencari materi ini bisa ambil aja d my blog. moga kalian senang. mohon kritik dan saranya
BalasHapus