Hubungan
Administrasi Negara dengan Ilmu Politik
Politik merupakan dimensi penting dalam administrasi
Negara. Politik dan Administrasi Negara seumpama dua sisi dari keping mata
uang. Politik perumus strategi negara dan administrasi negara implementor strategi
tersebut. Politik tanpa administrasi Negara hanya sekedar jargon dan
janji-janji, sebaliknya administrasi Negara tanpa politik seperti mobil yang
berjalan tanpa arah tujuan. Karena itu, perlu dipahami apa pengertian dan
fungsi politik dan administrasi negara, serta perdebatan
seputar hubungan administrasi negara dengan politik yang telah menjadi isu
klasik dalam ilmu administrasi negara.
1.
Hubungan
antara administrasi negara dan ilmu politik telah berjalan lama, karena secara
praktis tidak ada batas yang tegas antara politik dan administrasi
2.
Orientasi
politik dalam studi administrasi negara meletakkan administrasi negarasebagai
satu elemen dalam proses pemerintahan. Administrasi negara dipandangsebagai
satu aspek dari proses politik dan sebagai bagian dari sistem pemerintahan.
3.
Munculnya
dikhotomi politik-administrasi sebenarnya merupakan gerakan koreksi terhadap
buruknya karakter pemerintah
4.
Dalam
perkembangannya, orientasi politik dalam studi administrasi negara
dikombinasikan dengan orientasi manajerial yang dikenal dengan orientasi
politik-manajerial, dan orientasi sosio-psikologis yang dikenal dengan
orientasi politik-sosio-psikologis
Dalam konteks
penyelenggaraan pemerintahan, Administrasi Publik akan memainkan sejumlah
peranan penting, diantaranya dalam menyelenggarakan pelayanan publik guna
mewujudkan salah satu tujuan utama dibentuknya suatu Negara.
Administrasi publik
di Indonesia dikenal dengan istilah Administrasi Negara. Para ahli mengemukakan
beberapa pengertian mengenai Administrasi Publik/Administrasi Negara, misalnya
saja menurut Gordon (dalam Kasim 1993: 22) administrasi publik adalah studi
tentang seluruh proses, organisasi dan individu yang bertindak sesuai dengan
peran dan jabatan resmi dalam pelaksanaan peraturan perundangan yang
dikeluarkan oleh lembaga legislatif, eksekutif dan peradilan. Berbeda lagi
dengan pandangan dari Ellwein dan Hesse serta Peter (dalam Knill, 2001: 65)
bahwa administrasi publik lebih berfungsi sebagai aplikasi hukum daripada
pembuatan kebijakan dan kurang memiliki fleksibilitas serta diskresi secara
komparatif ketika menerapkan provisi legal. Dalam arti luas, administrasi
publik menurut Henry (1989: 17) merupakan suatu kombinasi teori praktek
birokrasi publik. Tujuan administrasi publik baik menurut Henry (1989) maupun
Garcia dan Khator (1994) ialah untuk memajukan pemahaman tentang pemerintah dan
hubungannya dengan rakyat yang pada gilirannya akan memajukan kebijakan public
yang lebih responsif terhadap tuntutan sosial dan untuk menetapkan praktek
manajemen yang efisien, efektif dan lebih manusiawi.
Berdasarkan perkembangan keadaan, cukup
banyak tantangan yang dihadapi administrasi publik, menurut Johanes Basuki
dalam jurnalnya yang berjudul “Tantangan Ilmu Administrasi Publik: Paradigma
Baru Kepemimpinan Aparatur Negara”, terdapat 21 tantangan yang dihadapi
administrasi publik, yakni, (1) globalisasi ekonomi, (2) pendidikan, (3)
pengangguran, (4) tanggung jawab sosial, (5) pelestarian lingkungan hidup, (6)
peningkatan kualitas hidup, (7) penerapan norma-norma moral dan etika, (8) keanekaragaman
tenaga kerja, (9) pergeseran konfigurasi demografi, (10) penguasaan dan
pemanfaatan IPTEK, (11) tantangan di bidang politik, (12) bencana alam
(tsunami, gempa, banjir-(disaster management), (13) pemanasan global,
(14) kesenjangan sosial, (15) manajemen multikultural, (16) paperless
bureaucracy, (17) global competition, (18) customer loyalty
problem, (19) knowledge base economy; (20) time to market,
dan (21) kualitas kepemimpinan.
Land dan Rosenbloom
(dalam Kasim, 1998) menyatakan administrasi publik harus dilaksanakan dengan
melihat kebutuhan masyarakat. Administrasi publik diharapkan dapat bekerja
secara efisien dan tanggap terhadap kebutuhan masyarakat yang dianggap sebagai
konsumen, sebagaimana halnya perusahaan swasta.
Perkembangan ilmu
administrasi publik dipengaruhi oleh berbagai disiplin ilmu lain, seperti ilmu
politik, hukum, sosiologi, manajemen, ekonomi, dan lain-lain. Oleh karena itu,
konsep administrasi publik sebagai suatu pemikiran yang dipelajari secara
interdisiplin minimal mencakup aspek:
(1) organisasi dan manajemen,
(2) politik, dan
(3) hukum (lihat Kasim, 1993).
Namun, administrasi
publik berbeda dengan ilmu politik berdasarkan penekanannya pada struktur dan
perilaku birokrasi serta metodologi yang digunakan. Administrasi publik juga
berbeda dengan manajemen dalam arti bahwa teknik evaluasi yang digunakan oleh
organisasi publik non-profit tidak sama dengan teknik evaluasi yang digunakan
oleh organisasi privat yang mengejar keuntungan.
Studi Ilmu Politik
yang berkembang pada saat itu ternyata tidak mampu memecahkan persoalan
tersebut karena memang 3 fokus kajian Ilmu Politik bukan pada bagaimana
mengelola pemerintahan dengan efektif dan efisien, melainkan lebih pada urusan
tentang sebuah konstitusi dan bagaimana keputusan-keputusan politik dirumuskan.
Dalam tulisannya tersebut Wilson (1887: 1) mengatakan: “No one wrote
systematically of administration as a branch of the science of government until
the present century had passed it first youth and had begun to put forth its
characteristic flower of systematic knowledge. Up to our own day all the
political writers whom we now read and though, argued, dogmatized, only about
the constitution of governments; about nature of the state, the essence and
seat of sovereignty, popular power and kingly prerogative…The central field of
controversy was that great field of theory in which monarchy rode tilt against
democracy, in which oligarchy would have built for itself strongholds of
privilege, and in which tyranny sought opportunity to make good its claim to
receive submission from all competitors. The question, how law should be
administered with enlightenment, with equity, with speed, and without friction,
was put aside as a practical detail which clerks could arrange after doctor had
agreed upon principles”
Arti
politik yang terekam dari berbagai referensi ilmu politik
disimpulkan terdapat tiga penjelasan.
Pertama, mengidentifikasikan kategori-kategori aktivitas yang
membentuk politik. Dalam hal ini Paul Conn menganggap konflik sebagai esensi
politik. Kedua, menyusun suatu rumusan yang dapat merangkum
apa saja yang dapat dikategorikan sebagai politik. Politik dapat dirumuskan
sebagai “siapa mendapat apa, kapan dan bagaimana”. Ketiga, menyusun
daftar pertanyaan yang harus dijawab untuk memahami politik. Melalui daftar
pertanyaan diharapkan dapat memberi jawaban dengan gambaran yang tepat mengenai
politik (Surbakti, 1992). Jadi politik akan terkait dengan kekuasaan, negara
dan pengaturan hidup bersama dalam upaya mencapai kebaikan bermasyarakat.
v
Pengaruh
Sistem Politik Terhadap Administrasi Negara
Politik dan administrasi
negara sangatlah erat berkaitan, ini dibuktikan dengan politik merupakan pangkal
tolak administrasi negara dan administrasi negara adalah merupakan kelanjutan
dari proses politik. Menurut Woodrow Wilson (1974), administrasi adalah
kelanjutan dari sebuah kebijakan artinya administrasi berjalan ketika sebuah
kebijakan yang dihasilkan dari proses politik itu terjaga kestabilannya.
Mempelajari negara dan pemerintahannya berarti mempelajari kekuatan dan
kekuasaan dan hal tersebut merupakan salah satu dari tujuan atau orientasi dari
kontestasi politik yakni kekuasaan.
Ketika meninjau pengaruh politik terhadap administrasi negara, suatu hal yang
perlu untuk diperhatikan adalah sistem politik. Sistem politik adalah sistem
pola hubungan kekuasaan dalam pemerintahan dan hubungan kekuasaan pemerintah
dengan konstituennya (yakni rakyat). Sistem politik mencakup hubungan pengemban
kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif. Bagaimana pola hubungan
pemerintah dengan wakil-wakil rakyat diparlemen, bagaimana rakyat diorganisir
untuk dapat mengefektifkan kekuasaan (kepartaian).
Administrasi negara yang memberikan
sebuah pelayanan yang prima kepada publik itu dicapai ketika terjadinya kestabilan
politik disuatu negara. Administrasi negara yang dijalankan oleh para birokrat,
sangatlah dipengaruhi ketika terjadinya gesekan-gesekan kepentingan politis
yang melingkupi pemerintahan yang secara tidak langsung berimplikasi dengan
stagnannya agenda formulasi kebijakan yang telah direncanakan. Agenda kebijakan
merupakan rumusan dari berbagai janji politik pasangan calon presiden dan wakil
presiden ketika kampanye sekaligus merupakan agregasi dari kepentingan elit
partai pendukung mereka ketika kampanye dulu. ketika pemerintah tidak mampu
meredam berbagai pertentangan sekaligus tarik-menarik kepentingan dalam agenda
kebijakan yang telah disusunnya dan mengelaborasi berbagai perbedaan tersebut
menjadi suatu hal yang sinergis, maka akibatnya adalah terjadinya stagnasi
agenda kebijakan.
Sebuah misi guna menciptakan sebuah proses menuju sebuah good governance yang
mengikutsertakan peran partisipasi politik masyarakat secara aktif hanya
tinggal mimpi yang meninggalkan luka yang cukup dilematis.
Sejarah pengaruh sistem politik terhadap administrasi Negara
Sistem politik pemerintah era orde lama pra dekrit presiden, sangatlah
tergantung kepada dukungan parlemen karena sistem parlementer yang diusung
pemerintah ketika itu yang secara aklamasi menciptakan kekuatan parlemen yang
sangat luas. Di indonesia ketika itu seperti sekarang ini mengusung sistem
multi partai sehingga tidak ada satu partai-pun yang menjadi partai dominan
atau mayoritas yang mampu membentuk pemerintahan tanpa kerja sama atau koalisi
dengan partai-partai lain.
Akibatnya pemerintah dalam pembentukan kabinet guna merealisasikan program
kerja pemerintah, selalu dilandasi dengan kerja sama atau koalisi dari beberapa
partai yang diikuti oleh pembagian “kue” yakni jatah kursi menteri-menteri yang
akan memimpin departemen.
Ketika partai telah memperoleh pembagian jatah kursi menteri, maka kemudian
yang terjadi adalah departemen-departemen tersebut seolah menjadi milik partai
dan jabatan-jabatan strategis dilingkungan departemen tersebut pastilah diisi
oleh orang-orang partai asal si menteri. Dalam keadaan yang demikian ekstrim,
pengisian tersebut kadang-kadang mengabaikan norma kepegawaian yang telah
ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan yang ada. Akibat lanjutnya adalah
staff kementrian tersebut kurang mampu, penempatan pegawai tidak tepat sehingga
administrasi negara tidak berjalan dengan efektif.
Oleh karena kedudukan menteri sangatlah erat dengan konstelasi politik antar
partai pengusung kekuasaan dan juga bargaining politik antar elit partai, maka
seorang menteri bisa saja berhenti ketika partainya tidak mampu menempatkan
dirinya sesuai sebagaimana seharusnya dilingkaran kekuasaan. Untuk itulah,
partai politk era orde lama begitu menjadi “impotent” ketika melihat tampuk
kekuasaan itu mengelilingi diri seorang Soekarno. Untuk itu elit partai ketika
itu apabila ingin “langgeng” kekuasaannya, harus tetap selalu berada
dilingkaran seputaran kekuasaan Soekarno walaupun itu menanggalkan
prinsip-prinsip kepartai-an itu sendiri.
Pada aspek kelembagaan terjadi perkembangan yang paradoks. Oleh karena
administrasi negara ada dibawah pimpinan pejabat-pejabat partai politik yang
berorientasi kepada partai politik tertentu, maka sering terjadi pembentukan
suatu badan/lembaga tertentu baru atau unit-unit baru dalam suatu kementrian,
Walaupun secara terselubung dilatar belakangi kepentingan untuk menempatkan
orang-orang partai pada jabatan-jabatan dalam badan/lembaga yang baru
terbentuk. Lambat laun terciptanya struktur organisasi administrasi yang tidak efisien
akibat adanya suatu organisasi yang tidak jelas tugas dan fungsinya dan juga
tumpang tindih arah kerja ketika beberapa organisasi mempunyai tugas dan fungsi
yang sama, birokrasi berlebih-lebihan yang menghambat proses kerja dan abuse of
power.
Ketika Era orde baru, mulailah diambil langkah-langkah guna membenahi sistem
administrasi di negara ini yakni salah satunya dengan jalan mengurangi pengaruh
pertai-partai politik (asas tunggal maupun fusi parpol) dan juga dalam jajaran
kabinet dibentuk porsi khusus guna membenahi aparatur negara (dalam hal ini
birokratnya) yaitu menteri negara pemberdayaan aparatur negara yang dilantik
tanggal 10 juni 1968. selain itu, diambil langkah-langkah positif pula yakni
fungsionalisasi, restrukturisasi dan penempatan yang proporsional.
Birokratisasi yang sesuai dengan perkembangan keadaan (kaidah max weber akan
potensi hierarkis birokrasi tersebut untuk mengefisienkan kerja organisasi)
sehingga ada kejelasan organisasi maupun pola kerjanya.
Disamping itu adanya perbaikan kompensasi pegawai mendapat perhatian khusus
dari pemerintah dengan memberi kenaikan gaji beberapa kali lipat. Guna
meningkatkan pelayanan publik, para aparatur negara yang memberikan pelayanan
tersebut juga haruslah makmur atau sejahtera hidupnya. Analisa pemerintah
dengan dinaikkannya tingkat kesejahteraan pegawai pemerintah, maka akan
memperkecil adanya kesempatan untuk melakukan tindak korupsi atau
penyalahgunaan wewenang akibat keterpurukkan taraf hidup ekonomi para aparat
pemerintah. Pemerintah merencanakan dengan sebuah kesinergisan dan keharmonisan
antar pelaku maupun objek kebijakan maka suatu pelayanan publik yang prima itu
akan terealisasikan.
Namun ironisnya yang terjadi kemudian, terjadinya egaliterisme pemerintahan.
Pemerintah orde baru yang pada awalnya begitu eksoistik, lama kelamaan
memperlihatkan kerapuhan organisasinya. Sentralisasi yang berlebihan
mengakibatkan terpusatnya segala kebijakan tanpa mempertimbangkan aspek budaya
lokal dalam pemutusan kebijakannya. Pemerintah orde baru ketika itu melakukan
“pukul rata” dalam memutuskan undang-undang peraturan tanpa mengindahkan apakah
daerah tersebut sesuai dengan arah kebijakan tersebut karena perlu
diperhatikan, indonesia adalah sebuah bangsa dan negara yang majemuk, daerah
yang satu dengan yang lainnya itu sangat berbeda baik dari segi kultur budaya
maupun kemampuan ekonominya. Korupsi yang terjadi akhirnya dilingkaran seputar
kekuasaan, yang diakibatkan akumulasi kapital yang berlebihan pada sebagian
konglomerat yang awalnya diharapkan menjadi faktor potensial penciptaan
lapangan kerja di Indonesia. Perlu diperhatikan,awalnya Soeharto melihat dengan
menumpukkan kapital di salah satu konglomerat maka efek Feedbacknya akan
terciptanya “rembesan ke bawah” -kalau merujuk Woodrow Wilson- para konglomerat
tersebut akhirnya akan membuka faktor produksi yakni perusahaan yang pada
akhirnya akan menyerap tenaga kerja dilingkungan perusahaan tersebut.
Selain itu, budaya militer pun mempengaruhi disfungsi birokrasi Politik militer
yang tanpa tanding (oposisi) mengakibatkan pemerintah kehilangan kontrol,
pemerintah merasa segala tindak lakunya tidak akan ada penghalangnya. Ini
berakibat dengan dekonsistensi organisasi, banyaknya para pejabat yang korup
yang pada akhirnya budaya korupsi pun tercipta dikarenakan tidak adanya
pengetatan hukum ketika itu. Arah dari pemerintah ketka itu ialah pembangunan
ekonomi, sedangkan ironisnya hukum yang seharusnya menjadi partner dari
pelaksanaan kebijakan tersebut diabaikan. Rentetan kerapuhan birorasi indonesia
yang seharusnya berorientasi kepada pelayanan publik, dikarenakan budaya
matrealismenya berubah 1800 menjadi oriented profit sehingga birokrasi menjadi
dipersulit apabila bagi kaum subaltern yang tak bermateri. Lambat laun hal
inilah yang akhirnya menyebabkan tingkat birokrasi kita semakin tidak tentu
arahnya.
birokrasi di Indonesia adalah sebuah system birokrasi 3 generasi perubahan
yakni warisan birokrasi zaman kolonial penjajahan (birokrasi warisan belanda),
system birokrasi warisan orde lama, dan terakhir system birokrasi warisan orde
baru. Ketiga system birokrasi tersebut kemudian saling bertransformasi menjadi
budaya birokrasi seperti yang kita rasakan sekarang ini.
Budaya birokrasi yang paling kentara pengaruhnya yakni budaya birokrasi era
orde baru yang mengusung paradigma “birokrasi untuk dilayani”. Paradigma
birokrasi yang seharusnya melayani kepentingan publik ketika orde baru malah
sebaliknya, publik secara sukarela selalu saja harus menanggung kewajiban tanpa
dibarengi akan haknya sebagai warga negara. “Warga negara yang baik haruslah
taat menaati segala peraturan pemerintah”, itulah jargon yang selalu di
dengung-dengungkan pemerintah era orde baru. Masyarakat secara masif diharuskan
membayar segala jenis pajak, retribusi dan lainnya tanpa dibarengi peningkatan
kualitas pelayanan yang prima bagi mereka.
Budaya birokrasi yang ingin dilayani secara tidak sadar malah membuat para
aparatur birokratnya membudayakan birokrasi yang omnipotent, yaitu budaya
birokrasi yang mandul.
Pengaruh politik terhadap administarsi negara dewasa ini
Dalam era desentralisasi maupun otonomi daerah seperti sekarang ini, tentulah
sangat lebih kompleks lagi apabila menelaah pengaruh politik terhadap
administrasi kebijakan di daerah yang antar daerah berbeda dalam
variabel-variabel pengaruh yang ditimbulkannya. Namun secara garis besar dapat
ditarik benang merah dari pengaruh-pengaruh aspek politis tersebut terhadap
administrasi kebijakannya.
Seorang Jorge Lowell pernah berujar dalam bukunya “Reformation birokrasi in
globalitation era” (2001) bahwa kesalahan terbesar bagi sakitnya birokrasi
adalah kepada disfungsi systemnya. Ia berujar bahwa systemlah yang akan
meregulasi para aparatur birokrasi menjadi lebih efektif. Ia kembali berujar
bahwa system mempunyai variabel-variabel terluas bagi kepentingan sebuah
keefektifan organisasi. Dalam ruang lingkup system ia menambahkan, adanya
banyak ekses-ekses yang sangat urgens guna memulihkan suatu birokrasi yang
sakit adalah dengan reformasi atau ruitalisasi terhadap systemnya.
Ketika kita bandingkan dengan keadaan birokrasi di Indonesia jelas terdapat
hal-hal yang berbeda akan sebuah systemnya. Seorang Woodrow Wilson pernah
berujar akan keheranannya terhadap system birokrasi yang dipengaruhi akan
system atau konfigurasi politik. Ia menambahkan bahwa system politik yang
termanifestasi lewat pemilu mempunyai efek domino terbesar akan sakitnya
birokrasi di Indonesia. Pada dasarnya dari penjelasannya, ia berpendapat dosa
terbesar bagi sakitnya birokrasi kita ialah pada systemnya. Menurut ia “When the
processing of politic is finish, the birokration is begin”, artinya birokrasi
itu di mulai ketika proses politik yakni pemilu itu telah selesai birokrasi
berjalan. Administrasi Negara adalah kelanjutan dari proses politik namun bukan
bagian dari proses politik praktis. Adanya birokrasi hanyalah sebatas
pelaksanaan administrasi proses politik, Artinya, administrasi Negara itu ada
untuk menciptakan ketertiban proses politik, namun tidak di infiltrasi oleh
proses (hasil) politik.
Dalam proses politik di negara Indonesia, cenderung meninggalkan kuka-luka yang
cukup menyebabkan kita kembali sakit. Proses politik di Indonesia kadang tidak
terselesaikan setelah proses pemilu. Secara konkret kita melihat bahwa ada
ekses-ekses lain yang terjadi setelah pemilu. Perang kepentingan masih terjadi
setelah pemilu yang parahnya malah membuat para aparatur birokratnya menjadi
kehilangan kenetralitasannya padahal dalam aspek tata perilaku seorang birokrat
ialah ia harus netral atau sebagai stabilisator konflik. Contoh realnya ialah
terjadi di Banten ketika ada mutasi besar-besaran terhadap beberapa pejabat
eselon II yang pada akhirnya "non job" yang menurut kebanyakan
pengamat adalah merupakan implikasi semakin dekatnya ajang pilkadal di tahun
2006 ketika itu
Dari contoh kasus diatas, dapat ditarik sebuah benang merahnya yaitu jalannya
sebuah administrasi kebijakan negara yang baik itu itu diawali dengan pra
kondisi kestabilan politik. Tanpa sebuah kestabilan politik tentu saja sebuah
keniscayaan administrasi negara yang handal, efisien dan menghasilkan output
yang prima hanya menjadi mimpi-mimpi belaka yang tak akan pernah usai. Politik
dan administrasi adalah dua rangkai mechanism yang seharusnya saling
mendamaikan. Administrasi Negara ada untuk mentertibkan proses politik, sedangkan
hasil proses politik sudah seharusnya mendewasakan aparatur birokrasi di negeri
ini. Terdapat garis demarkasi yang jelas antar keduanya, agar relasi pengaruh
keduanya adalah positif bukan malah bersifat korosif.
1.2 Pengaruh Administrasi Negara Terhadap Sistem Politik
Pengaruh administrasi Negara terhadap system politik dapat ditelurusi bertitik
tolak pada maklumat Pemerintah 3 November 1945 yang berisi anjuran Pemerintah
tentang pembentukan partai-partai politik. Partai-partai politik yang secara resmi
berdiri setelah maklumat tersebut ialah : Masyumi, PKI, PBI (Persatuan Buruh
Indonesia), Partai Rakyat Jelata, Parkindo, PSI, Partai Rakyat Sosialis, Partai
Katolik, Permai (Partai Rakyat Marhaen Indonesia) dan PNI. Dalam prkembangan
selanjutnya jumlah partai tersebut bertambah baik karena berdirinya partai baru
maupun karena pecahnya partai-partai yang telah ada. Sampai akhirnya pada
Pemilihan Umum tahun 1955 jumlah tersebut mencapai jumlah lebih dari 27 partai.
Setelah DPR terbentuk yang terdiri dari wakil-wakil partai politik yang
demikian banyak jumlahnya maka dibentuklah fraksi-fraksi yang jumlahnya
disederhanakan menjadi 19, karena ada penggabungan wakil-wakil beberapa partai
kecil kedalam satu fraksi.31) Dengan system kepartaian yang demikian itu oleh
Pemerintah dirasakan kurang dapat menjamin kesatuan dan persatuan Nasional dalam
Rangka mengejar cita-cita bangsa. Berdasarkan Penetapan President No.7 tahun
1959 tentang syarat-syarat dan penyederhanaan kepartaian, sehingga hasilnya
jumlah partai-partai berkurang, walaupun jumlahnya masih cukup banyak yaitu 10
partai. Pada perekembangan selanjutnya dalam percaturan politik muncullah
golongan-golongan fungsional (buruh, tani, dan lain-lainnya) yang kemudian
membentuk Sekretariat Bersama Golongan Karya. Dalam rangka pemurnian
wakil-wakil golongan fungsional dalam DPRD yang berafiliasi dengan
partai-partai tertentu diberhentikan dan digantikan oleh mereka yang tidak
berafiliasi dengan partai tertentu.
Dengan partai politik yang sekian banyaknya dirasakan masih belum dapat
menjamin kesatuan dan persatuan nasional terutama dalam menunjang usaha-usaha
pembangunan. Maka oleh Administrasi Negara dilakukan usaha-usaha selanjutnya
untuk menyederhanakan jumlah partai-partai. Setelah dilakukan pembahasan yang
mendalam maka disetujui oleh administrasi Negara, bahwa akan dilakukan fusi
antara partai-partai yang berdasar islam kedalam satu partai, demikian pula
sisa partai lainnya juga akan berfusi ke dalam satu sehingga terdapat dua
partai dan Golongan Politik dan Golongan Karya. Kedua Parpol tersebut ialah
Partai Persatuan Pembangunan (P3) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI).
Kesimpulan
Dengan demikian politik itu
bersangkut paut dengan Negara dan dengan sendirinya juga bersangkut paut dengan
pemerintahan dan kekuasaan. Sebaliknya dengan fungsi, Administrasi Negara merupakan usaha-usaha
melaksanakaan khendak dari pada Negara (the execution of the will of the
state). Jadi dengan demikian bahwa sistem politik dan administrasi Negara
sangat erat berkaitan. Politik merupakan pangkal tolak Administrasi Negara dan
Administrasi Negara merupakan kelanjutan dari politik.