Sabtu, 13 Juli 2013

Neoliberalism dan Neorealism



                    NEOLIBERALISM & NEOREALISM

           Hubungan Internasional dalam perkembangannya tidak terlepas dari adanya perspektif-perspektif. Adanya lebih dari satu perspektif dalam studi ini tidak lantas membuat disiplin ilmu HI menjadi terpecah-pecah menjadi golongan-golongan seturut dengan perspektif yang mereka anut, tetapi hadirnya perspektif-perspektif ini membuat Hubungan Internasional menjadi suatu disiplin ilmu yang utuh dan menjadikan perspektif-perspektif itu sebagai pendekatan untuk melihat dan menanggapi fenomena internasional yang sedang terjadi.
          Perkembangan perspektif dalam studi Hubungan Internasional tidak terbatas pada dua perspektif besar, yakni realisme dan liberalisme saja. Namun, ada perspektif lain pula yang mempengaruhi disiplin ilmu ini. Perspektif-perspektif ini merupakan perspektif-perspektif yang terlibat dalam Great Debates ketiga, perspektif ini adalah neoliberalisme dan neorealisme. Pertanyaan yang acap kali muncul berkenaan dengan kedua perspektif ini adalah, apa sebab munculnya kedua perspektif ini? Apakah yang diperdebatkan diantara kedua perspektif ini?
             Munculnya perspektif neorealisme dan neoliberalisme dipengaruhi oleh beberapa faktor yang disebut dengan the turning point. Turning point ini meliputi beberapa hal, pertama adalah keadaan pasca Perang Dunia II. Keadaan pasca PD II memang di dominasi oleh perspektif realisme, namun keadaan itu juga menjadi waktu kebangkitan atau maraknya organisasi-organisasi internasional. Hal itu dipicu pula oleh adanya pluralisme di Amerika Serikat, sehingga aktor-aktor non-state pun bermunculan. Keadaan pasca PD II ini tidak bisa dijelaskan oleh perspektif neo-klasik liberalisme ataupun realisme, sehingga perspektif neorealisme dan neoliberalisme pun ada untuk menjelaskan fenomena tersebut. Selain itu, faktor kedua ialah adanya perdebatan kedua dalam HI antara perspektif behavioralis dan tradisionalis yang pada akhirnya membawa perubahan dalam pendekatan studi HI. Behavioralis menjadi suatu aliran yang berpengaruh karena kaum behavioralis menggunakan metode ilmiah dalam menjelaskan fenomena-fenomena yang terjadi (scientific approach). Aliran ini menjadi cikal bakal pendekatan yang baru pada HI dan menjadi cikal bakal adanya perspektif HI yang disusun dan diamati menggunakan pendekatan scientific yakni neorealisme dan neoliberalisme. Kedua faktor turning point diatas menjadi turning point yang dominan untuk menjelaskan adanya neoliberalisme dan neorealisme yang menjadi alasan berkurangnya pengaruh pengaruh neo-klasik.
          Lalu, sebenarnya apakah neorealisme dan neoliberalisme? Apakah perbedaannya dengan realisme atau liberalisme saja tanpa “neo”? Secara garis besar neorealisme dan neorealisme memang berbeda dengan realisme atau liberalisme. Sebut saja secara pendekatan, apabila dalam realisme atau liberalisme digunakan pendekatan secara normatif, maka perspektif neorealisme dan neoliberalisme menggunakan pendekatan scientific. Selanjutnya beralih pada definisi neoliberalisme dan neorealisme itu sendiri. Neoliberalisme merupakan perspektif yang sebenarnya tidak jauh beda dengan liberalisme karena neoliberalisme memang mengacu pada liberalisme. Neoliberalisme ada sebagai bentuk kritik atas realisme ataupun neorealisme. Perspektif ini fokus pada bagaimana aktor-aktor non-state bekerjasama satu sama lain untuk mencapai perdamaian. Selain itu, perspektif ini juga beranggapan bahwa adanya institusi internasional diperlukan untuk menjadi penghubung dan alat untuk mencapai kerjasama. Berikutnya adalah neorealisme. Neorealisme juga tidak memiliki perbedaan yang signifkan dengan realisme dan realisme pun menjadi acuan pandangan dari neorealisme. Sama halnya dengan realisme yang berpandangan bahwa negara adalah aktor yang paling berpengaruh dalam hubungan internasional, maka neorealisme berpandangan demikian. Konsep anarki, keamanan, dan survival tetap menjadi konsep yang penting dalam neorealisme.
          Dari hal-hal yang disebutkan diatas, terdapat beberapa perbedaan diantara kedua perspektif ini. Perbedaan tersebut terletak pada konsep anarki, kerjasama internasional, keuntungan (gain), tujuan negara, intention and capability, terakhir adalah institusi dan rezim. Pada konsep anarki, kedua perspektif ini mengakui adanya sistem anarki dalam dunia ini. Neorealis berpandangan bahwa anarki harus ada untuk mencapai interest dan power suatu negara. Neoliberalis berpandangan bahwa anarki memang ada tapi anarki untuk mendorong adanya kerjasama. Kedua, konsep kerjasama internasional. Neoliberalis dan neorealis berasumsi bahwa kerjasama mungkin dilakukan di kancah hubungan internasional, namun realis masih skeptis terhadap hal ini. Ketiga adalah keuntungan (gain) dalam kerjasama. Neorealis menganggap keuntungan sebagai keuntungan yang relatif (relative gain). Sedangkan neoliberalis beranggapan bahwa keuntungan sebagai keuntungan yang absolut (absolut gain). Keempat adalah state goal atau tujuan negara. Kedua perspektif ini sependapat bahwa keamanan nasional dan kesejahteraan ekonomi merupakan hal yang penting, tapi kedua perspektif ini memiliki perhatian yang berbeda. Apabila neorealis berpandangan bahwa tujuan negara adalah survival melalui konsep anarki maka neoliberalis berpandangan bahwa tujuan negara adalah kesejahteraan ekonomi. Kelima adalah intention and capability.           Neorealis lebih menekankan pada kemampuan (capability) sedangkan neoliberalis lebih menekankan pada tujuan atau minat (intention). Kemudian yang terakhir adalah institusi dan rezim. Neorealis menganggap bahwa institusi dan rezim tidak begitu penting karena institusi dan rezim tidak memiliki kemampuan untuk punish defectors. Sebaliknya, neoliberalis memandang bahwa isntitusi dan rezim amat penting karena dengan adanya institusi dan rezim negara bisa mendapatkan keuntungan lebih dan kerjasama untuk mencapai perdamaian dapat terjalin.
          Dapat disimpulkan bahwa neoliberalis dan neorealis pada dasarnya tidak memiliki perbedaan yang tajam, faktanya keduanya memiliki fokus yang sama dan sama-sama setuju dalam asumsi mengenai politik internasional. Inilah mengapa kedua perspektif ini disebut sebagai Inter-Paradigm debate. Lebih dari sekedar teori, kedua perspektif ini menunjukkan hal-hal yang membentuk pandangan seseorang mengenai dunia

Hubungan Administrasi Negara dengan Ilmu Politik



Hubungan Administrasi Negara dengan Ilmu Politik 
  

Politik merupakan dimensi penting dalam administrasi Negara. Politik dan Administrasi Negara seumpama dua sisi dari keping mata uang. Politik perumus strategi negara dan administrasi negara implementor strategi tersebut.  Politik tanpa administrasi Negara hanya sekedar jargon dan janji-janji, sebaliknya administrasi Negara tanpa politik seperti mobil yang berjalan tanpa arah tujuan. Karena itu,  perlu dipahami apa pengertian dan fungsi politik dan administrasi negara,  serta perdebatan   seputar hubungan administrasi negara dengan politik yang telah menjadi isu klasik dalam ilmu administrasi negara.
1.      Hubungan antara administrasi negara dan ilmu politik telah berjalan lama, karena secara praktis tidak ada batas yang tegas antara politik dan administrasi
2.      Orientasi politik dalam studi administrasi negara meletakkan administrasi negarasebagai satu elemen dalam proses pemerintahan. Administrasi negara dipandangsebagai satu aspek dari proses politik dan sebagai bagian dari sistem pemerintahan.
3.      Munculnya dikhotomi politik-administrasi sebenarnya merupakan gerakan koreksi terhadap buruknya karakter pemerintah
4.      Dalam perkembangannya, orientasi politik dalam studi administrasi negara dikombinasikan dengan orientasi manajerial yang dikenal dengan orientasi politik-manajerial, dan orientasi sosio-psikologis yang dikenal dengan orientasi politik-sosio-psikologis

Dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan, Administrasi Publik akan memainkan sejumlah peranan penting, diantaranya dalam menyelenggarakan pelayanan publik guna mewujudkan salah satu tujuan utama dibentuknya suatu Negara.
Administrasi publik di Indonesia dikenal dengan istilah Administrasi Negara. Para ahli mengemukakan beberapa pengertian mengenai Administrasi Publik/Administrasi Negara, misalnya saja menurut Gordon (dalam Kasim 1993: 22) administrasi publik adalah studi tentang seluruh proses, organisasi dan individu yang bertindak sesuai dengan peran dan jabatan resmi dalam pelaksanaan peraturan perundangan yang dikeluarkan oleh lembaga legislatif, eksekutif dan peradilan. Berbeda lagi dengan pandangan dari Ellwein dan Hesse serta Peter (dalam Knill, 2001: 65) bahwa administrasi publik lebih berfungsi sebagai aplikasi hukum daripada pembuatan kebijakan dan kurang memiliki fleksibilitas serta diskresi secara komparatif ketika menerapkan provisi legal. Dalam arti luas, administrasi publik menurut Henry (1989: 17) merupakan suatu kombinasi teori praktek birokrasi publik. Tujuan administrasi publik baik menurut Henry (1989) maupun Garcia dan Khator (1994) ialah untuk memajukan pemahaman tentang pemerintah dan hubungannya dengan rakyat yang pada gilirannya akan memajukan kebijakan public yang lebih responsif terhadap tuntutan sosial dan untuk menetapkan praktek manajemen yang efisien, efektif dan lebih manusiawi.
Berdasarkan perkembangan keadaan, cukup banyak tantangan yang dihadapi administrasi publik, menurut Johanes Basuki dalam jurnalnya yang berjudul “Tantangan Ilmu Administrasi Publik: Paradigma Baru Kepemimpinan Aparatur Negara”, terdapat 21 tantangan yang dihadapi administrasi publik, yakni, (1) globalisasi ekonomi, (2) pendidikan, (3) pengangguran, (4) tanggung jawab sosial, (5) pelestarian lingkungan hidup, (6) peningkatan kualitas hidup, (7) penerapan norma-norma moral dan etika, (8) keanekaragaman tenaga kerja, (9) pergeseran konfigurasi demografi, (10) penguasaan dan pemanfaatan IPTEK, (11) tantangan di bidang politik, (12) bencana alam (tsunami, gempa, banjir-(disaster management), (13) pemanasan global, (14) kesenjangan sosial, (15) manajemen multikultural, (16) paperless bureaucracy, (17) global competition, (18) customer loyalty problem, (19) knowledge base economy; (20) time to market, dan (21) kualitas kepemimpinan.
Land dan Rosenbloom (dalam Kasim, 1998) menyatakan administrasi publik harus dilaksanakan dengan melihat kebutuhan masyarakat. Administrasi publik diharapkan dapat bekerja secara efisien dan tanggap terhadap kebutuhan masyarakat yang dianggap sebagai konsumen, sebagaimana halnya perusahaan swasta.
Perkembangan ilmu administrasi publik dipengaruhi oleh berbagai disiplin ilmu lain, seperti ilmu politik, hukum, sosiologi, manajemen, ekonomi, dan lain-lain. Oleh karena itu, konsep administrasi publik sebagai suatu pemikiran yang dipelajari secara interdisiplin minimal mencakup aspek:
(1) organisasi dan manajemen,
(2) politik, dan
(3) hukum (lihat Kasim, 1993).
Namun, administrasi publik berbeda dengan ilmu politik berdasarkan penekanannya pada struktur dan perilaku birokrasi serta metodologi yang digunakan. Administrasi publik juga berbeda dengan manajemen dalam arti bahwa teknik evaluasi yang digunakan oleh organisasi publik non-profit tidak sama dengan teknik evaluasi yang digunakan oleh organisasi privat yang mengejar keuntungan.
Studi Ilmu Politik yang berkembang pada saat itu ternyata tidak mampu memecahkan persoalan tersebut karena memang 3  fokus kajian Ilmu Politik bukan pada bagaimana mengelola pemerintahan dengan efektif dan efisien, melainkan lebih pada urusan tentang sebuah konstitusi dan bagaimana keputusan-keputusan politik dirumuskan. Dalam tulisannya tersebut Wilson (1887: 1) mengatakan: “No one wrote systematically of administration as a branch of the science of government until the present century had passed it first youth and had begun to put forth its characteristic flower of systematic knowledge. Up to our own day all the political writers whom we now read and though, argued, dogmatized, only about the constitution of governments; about nature of the state, the essence and seat of sovereignty, popular power and kingly prerogative…The central field of controversy was that great field of theory in which monarchy rode tilt against democracy, in which oligarchy would have built for itself strongholds of privilege, and in which tyranny sought opportunity to make good its claim to receive submission from all competitors. The question, how law should be administered with enlightenment, with equity, with speed, and without friction, was put aside as a practical detail which clerks could arrange after doctor had agreed upon principles
Arti politik yang terekam dari berbagai referensi ilmu politik disimpulkan     terdapat     tiga    penjelasan. Pertama, mengidentifikasikan kategori-kategori aktivitas yang membentuk politik. Dalam hal ini Paul Conn menganggap konflik sebagai esensi politik. Kedua, menyusun suatu rumusan yang dapat merangkum apa saja yang dapat dikategorikan sebagai politik. Politik dapat dirumuskan sebagai “siapa mendapat apa, kapan dan bagaimana”. Ketiga, menyusun daftar pertanyaan yang harus dijawab untuk memahami politik. Melalui daftar pertanyaan diharapkan dapat memberi jawaban dengan gambaran yang tepat mengenai politik (Surbakti, 1992). Jadi politik akan terkait dengan kekuasaan, negara dan pengaturan hidup bersama dalam upaya mencapai kebaikan bermasyarakat.
v  Pengaruh Sistem Politik Terhadap Administrasi Negara

Politik dan administrasi negara sangatlah erat berkaitan, ini dibuktikan dengan politik merupakan pangkal tolak administrasi negara dan administrasi negara adalah merupakan kelanjutan dari proses politik. Menurut Woodrow Wilson (1974), administrasi adalah kelanjutan dari sebuah kebijakan artinya administrasi berjalan ketika sebuah kebijakan yang dihasilkan dari proses politik itu terjaga kestabilannya. Mempelajari negara dan pemerintahannya berarti mempelajari kekuatan dan kekuasaan dan hal tersebut merupakan salah satu dari tujuan atau orientasi dari kontestasi politik yakni kekuasaan.
Ketika meninjau pengaruh politik terhadap administrasi negara, suatu hal yang perlu untuk diperhatikan adalah sistem politik. Sistem politik adalah sistem pola hubungan kekuasaan dalam pemerintahan dan hubungan kekuasaan pemerintah dengan konstituennya (yakni rakyat). Sistem politik mencakup hubungan pengemban kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif. Bagaimana pola hubungan pemerintah dengan wakil-wakil rakyat diparlemen, bagaimana rakyat diorganisir untuk dapat mengefektifkan kekuasaan (kepartaian).
 Administrasi negara yang memberikan sebuah pelayanan yang prima kepada publik itu dicapai ketika terjadinya kestabilan politik disuatu negara. Administrasi negara yang dijalankan oleh para birokrat, sangatlah dipengaruhi ketika terjadinya gesekan-gesekan kepentingan politis yang melingkupi pemerintahan yang secara tidak langsung berimplikasi dengan stagnannya agenda formulasi kebijakan yang telah direncanakan. Agenda kebijakan merupakan rumusan dari berbagai janji politik pasangan calon presiden dan wakil presiden ketika kampanye sekaligus merupakan agregasi dari kepentingan elit partai pendukung mereka ketika kampanye dulu. ketika pemerintah tidak mampu meredam berbagai pertentangan sekaligus tarik-menarik kepentingan dalam agenda kebijakan yang telah disusunnya dan mengelaborasi berbagai perbedaan tersebut menjadi suatu hal yang sinergis, maka akibatnya adalah terjadinya stagnasi agenda kebijakan.
Sebuah misi guna menciptakan sebuah proses menuju sebuah good governance yang mengikutsertakan peran partisipasi politik masyarakat secara aktif hanya tinggal mimpi yang meninggalkan luka yang cukup dilematis.
Sejarah pengaruh sistem politik terhadap administrasi Negara
Sistem politik pemerintah era orde lama pra dekrit presiden, sangatlah tergantung kepada dukungan parlemen karena sistem parlementer yang diusung pemerintah ketika itu yang secara aklamasi menciptakan kekuatan parlemen yang sangat luas. Di indonesia ketika itu seperti sekarang ini mengusung sistem multi partai sehingga tidak ada satu partai-pun yang menjadi partai dominan atau mayoritas yang mampu membentuk pemerintahan tanpa kerja sama atau koalisi dengan partai-partai lain.
Akibatnya pemerintah dalam pembentukan kabinet guna merealisasikan program kerja pemerintah, selalu dilandasi dengan kerja sama atau koalisi dari beberapa partai yang diikuti oleh pembagian “kue” yakni jatah kursi menteri-menteri yang akan memimpin departemen.
Ketika partai telah memperoleh pembagian jatah kursi menteri, maka kemudian yang terjadi adalah departemen-departemen tersebut seolah menjadi milik partai dan jabatan-jabatan strategis dilingkungan departemen tersebut pastilah diisi oleh orang-orang partai asal si menteri. Dalam keadaan yang demikian ekstrim, pengisian tersebut kadang-kadang mengabaikan norma kepegawaian yang telah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan yang ada. Akibat lanjutnya adalah staff kementrian tersebut kurang mampu, penempatan pegawai tidak tepat sehingga administrasi negara tidak berjalan dengan efektif.
Oleh karena kedudukan menteri sangatlah erat dengan konstelasi politik antar partai pengusung kekuasaan dan juga bargaining politik antar elit partai, maka seorang menteri bisa saja berhenti ketika partainya tidak mampu menempatkan dirinya sesuai sebagaimana seharusnya dilingkaran kekuasaan. Untuk itulah, partai politk era orde lama begitu menjadi “impotent” ketika melihat tampuk kekuasaan itu mengelilingi diri seorang Soekarno. Untuk itu elit partai ketika itu apabila ingin “langgeng” kekuasaannya, harus tetap selalu berada dilingkaran seputaran kekuasaan Soekarno walaupun itu menanggalkan prinsip-prinsip kepartai-an itu sendiri.
Pada aspek kelembagaan terjadi perkembangan yang paradoks. Oleh karena administrasi negara ada dibawah pimpinan pejabat-pejabat partai politik yang berorientasi kepada partai politik tertentu, maka sering terjadi pembentukan suatu badan/lembaga tertentu baru atau unit-unit baru dalam suatu kementrian, Walaupun secara terselubung dilatar belakangi kepentingan untuk menempatkan orang-orang partai pada jabatan-jabatan dalam badan/lembaga yang baru terbentuk. Lambat laun terciptanya struktur organisasi administrasi yang tidak efisien akibat adanya suatu organisasi yang tidak jelas tugas dan fungsinya dan juga tumpang tindih arah kerja ketika beberapa organisasi mempunyai tugas dan fungsi yang sama, birokrasi berlebih-lebihan yang menghambat proses kerja dan abuse of power.
Ketika Era orde baru, mulailah diambil langkah-langkah guna membenahi sistem administrasi di negara ini yakni salah satunya dengan jalan mengurangi pengaruh pertai-partai politik (asas tunggal maupun fusi parpol) dan juga dalam jajaran kabinet dibentuk porsi khusus guna membenahi aparatur negara (dalam hal ini birokratnya) yaitu menteri negara pemberdayaan aparatur negara yang dilantik tanggal 10 juni 1968. selain itu, diambil langkah-langkah positif pula yakni fungsionalisasi, restrukturisasi dan penempatan yang proporsional. Birokratisasi yang sesuai dengan perkembangan keadaan (kaidah max weber akan potensi hierarkis birokrasi tersebut untuk mengefisienkan kerja organisasi) sehingga ada kejelasan organisasi maupun pola kerjanya.
Disamping itu adanya perbaikan kompensasi pegawai mendapat perhatian khusus dari pemerintah dengan memberi kenaikan gaji beberapa kali lipat. Guna meningkatkan pelayanan publik, para aparatur negara yang memberikan pelayanan tersebut juga haruslah makmur atau sejahtera hidupnya. Analisa pemerintah dengan dinaikkannya tingkat kesejahteraan pegawai pemerintah, maka akan memperkecil adanya kesempatan untuk melakukan tindak korupsi atau penyalahgunaan wewenang akibat keterpurukkan taraf hidup ekonomi para aparat pemerintah. Pemerintah merencanakan dengan sebuah kesinergisan dan keharmonisan antar pelaku maupun objek kebijakan maka suatu pelayanan publik yang prima itu akan terealisasikan.
Namun ironisnya yang terjadi kemudian, terjadinya egaliterisme pemerintahan. Pemerintah orde baru yang pada awalnya begitu eksoistik, lama kelamaan memperlihatkan kerapuhan organisasinya. Sentralisasi yang berlebihan mengakibatkan terpusatnya segala kebijakan tanpa mempertimbangkan aspek budaya lokal dalam pemutusan kebijakannya. Pemerintah orde baru ketika itu melakukan “pukul rata” dalam memutuskan undang-undang peraturan tanpa mengindahkan apakah daerah tersebut sesuai dengan arah kebijakan tersebut karena perlu diperhatikan, indonesia adalah sebuah bangsa dan negara yang majemuk, daerah yang satu dengan yang lainnya itu sangat berbeda baik dari segi kultur budaya maupun kemampuan ekonominya. Korupsi yang terjadi akhirnya dilingkaran seputar kekuasaan, yang diakibatkan akumulasi kapital yang berlebihan pada sebagian konglomerat yang awalnya diharapkan menjadi faktor potensial penciptaan lapangan kerja di Indonesia. Perlu diperhatikan,awalnya Soeharto melihat dengan menumpukkan kapital di salah satu konglomerat maka efek Feedbacknya akan terciptanya “rembesan ke bawah” -kalau merujuk Woodrow Wilson- para konglomerat tersebut akhirnya akan membuka faktor produksi yakni perusahaan yang pada akhirnya akan menyerap tenaga kerja dilingkungan perusahaan tersebut.
Selain itu, budaya militer pun mempengaruhi disfungsi birokrasi Politik militer yang tanpa tanding (oposisi) mengakibatkan pemerintah kehilangan kontrol, pemerintah merasa segala tindak lakunya tidak akan ada penghalangnya. Ini berakibat dengan dekonsistensi organisasi, banyaknya para pejabat yang korup yang pada akhirnya budaya korupsi pun tercipta dikarenakan tidak adanya pengetatan hukum ketika itu. Arah dari pemerintah ketka itu ialah pembangunan ekonomi, sedangkan ironisnya hukum yang seharusnya menjadi partner dari pelaksanaan kebijakan tersebut diabaikan. Rentetan kerapuhan birorasi indonesia yang seharusnya berorientasi kepada pelayanan publik, dikarenakan budaya matrealismenya berubah 1800 menjadi oriented profit sehingga birokrasi menjadi dipersulit apabila bagi kaum subaltern yang tak bermateri. Lambat laun hal inilah yang akhirnya menyebabkan tingkat birokrasi kita semakin tidak tentu arahnya.

birokrasi di Indonesia adalah sebuah system birokrasi 3 generasi perubahan yakni warisan birokrasi zaman kolonial penjajahan (birokrasi warisan belanda), system birokrasi warisan orde lama, dan terakhir system birokrasi warisan orde baru. Ketiga system birokrasi tersebut kemudian saling bertransformasi menjadi budaya birokrasi seperti yang kita rasakan sekarang ini.
Budaya birokrasi yang paling kentara pengaruhnya yakni budaya birokrasi era orde baru yang mengusung paradigma “birokrasi untuk dilayani”. Paradigma birokrasi yang seharusnya melayani kepentingan publik ketika orde baru malah sebaliknya, publik secara sukarela selalu saja harus menanggung kewajiban tanpa dibarengi akan haknya sebagai warga negara. “Warga negara yang baik haruslah taat menaati segala peraturan pemerintah”, itulah jargon yang selalu di dengung-dengungkan pemerintah era orde baru. Masyarakat secara masif diharuskan membayar segala jenis pajak, retribusi dan lainnya tanpa dibarengi peningkatan kualitas pelayanan yang prima bagi mereka.
Budaya birokrasi yang ingin dilayani secara tidak sadar malah membuat para aparatur birokratnya membudayakan birokrasi yang omnipotent, yaitu budaya birokrasi yang mandul.
Pengaruh politik terhadap administarsi negara dewasa ini
Dalam era desentralisasi maupun otonomi daerah seperti sekarang ini, tentulah sangat lebih kompleks lagi apabila menelaah pengaruh politik terhadap administrasi kebijakan di daerah yang antar daerah berbeda dalam variabel-variabel pengaruh yang ditimbulkannya. Namun secara garis besar dapat ditarik benang merah dari pengaruh-pengaruh aspek politis tersebut terhadap administrasi kebijakannya.
Seorang Jorge Lowell pernah berujar dalam bukunya “Reformation birokrasi in globalitation era” (2001) bahwa kesalahan terbesar bagi sakitnya birokrasi adalah kepada disfungsi systemnya. Ia berujar bahwa systemlah yang akan meregulasi para aparatur birokrasi menjadi lebih efektif. Ia kembali berujar bahwa system mempunyai variabel-variabel terluas bagi kepentingan sebuah keefektifan organisasi. Dalam ruang lingkup system ia menambahkan, adanya banyak ekses-ekses yang sangat urgens guna memulihkan suatu birokrasi yang sakit adalah dengan reformasi atau ruitalisasi terhadap systemnya.
Ketika kita bandingkan dengan keadaan birokrasi di Indonesia jelas terdapat hal-hal yang berbeda akan sebuah systemnya. Seorang Woodrow Wilson pernah berujar akan keheranannya terhadap system birokrasi yang dipengaruhi akan system atau konfigurasi politik. Ia menambahkan bahwa system politik yang termanifestasi lewat pemilu mempunyai efek domino terbesar akan sakitnya birokrasi di Indonesia. Pada dasarnya dari penjelasannya, ia berpendapat dosa terbesar bagi sakitnya birokrasi kita ialah pada systemnya. Menurut ia “When the processing of politic is finish, the birokration is begin”, artinya birokrasi itu di mulai ketika proses politik yakni pemilu itu telah selesai birokrasi berjalan. Administrasi Negara adalah kelanjutan dari proses politik namun bukan bagian dari proses politik praktis. Adanya birokrasi hanyalah sebatas pelaksanaan administrasi proses politik, Artinya, administrasi Negara itu ada untuk menciptakan ketertiban proses politik, namun tidak di infiltrasi oleh proses (hasil) politik.
Dalam proses politik di negara Indonesia, cenderung meninggalkan kuka-luka yang cukup menyebabkan kita kembali sakit. Proses politik di Indonesia kadang tidak terselesaikan setelah proses pemilu. Secara konkret kita melihat bahwa ada ekses-ekses lain yang terjadi setelah pemilu. Perang kepentingan masih terjadi setelah pemilu yang parahnya malah membuat para aparatur birokratnya menjadi kehilangan kenetralitasannya padahal dalam aspek tata perilaku seorang birokrat ialah ia harus netral atau sebagai stabilisator konflik. Contoh realnya ialah terjadi di Banten ketika ada mutasi besar-besaran terhadap beberapa pejabat eselon II yang pada akhirnya "non job" yang menurut kebanyakan pengamat adalah merupakan implikasi semakin dekatnya ajang pilkadal di tahun 2006 ketika itu
Dari contoh kasus diatas, dapat ditarik sebuah benang merahnya yaitu jalannya sebuah administrasi kebijakan negara yang baik itu itu diawali dengan pra kondisi kestabilan politik. Tanpa sebuah kestabilan politik tentu saja sebuah keniscayaan administrasi negara yang handal, efisien dan menghasilkan output yang prima hanya menjadi mimpi-mimpi belaka yang tak akan pernah usai. Politik dan administrasi adalah dua rangkai mechanism yang seharusnya saling mendamaikan. Administrasi Negara ada untuk mentertibkan proses politik, sedangkan hasil proses politik sudah seharusnya mendewasakan aparatur birokrasi di negeri ini. Terdapat garis demarkasi yang jelas antar keduanya, agar relasi pengaruh keduanya adalah positif bukan malah bersifat korosif.
1.2 Pengaruh Administrasi Negara Terhadap Sistem Politik
Pengaruh administrasi Negara terhadap system politik dapat ditelurusi bertitik tolak pada maklumat Pemerintah 3 November 1945 yang berisi anjuran Pemerintah tentang pembentukan partai-partai politik. Partai-partai politik yang secara resmi berdiri setelah maklumat tersebut ialah : Masyumi, PKI, PBI (Persatuan Buruh Indonesia), Partai Rakyat Jelata, Parkindo, PSI, Partai Rakyat Sosialis, Partai Katolik, Permai (Partai Rakyat Marhaen Indonesia) dan PNI. Dalam prkembangan selanjutnya jumlah partai tersebut bertambah baik karena berdirinya partai baru maupun karena pecahnya partai-partai yang telah ada. Sampai akhirnya pada Pemilihan Umum tahun 1955 jumlah tersebut mencapai jumlah lebih dari 27 partai. Setelah DPR terbentuk yang terdiri dari wakil-wakil partai politik yang demikian banyak jumlahnya maka dibentuklah fraksi-fraksi yang jumlahnya disederhanakan menjadi 19, karena ada penggabungan wakil-wakil beberapa partai kecil kedalam satu fraksi.31) Dengan system kepartaian yang demikian itu oleh Pemerintah dirasakan kurang dapat menjamin kesatuan
dan persatuan Nasional dalam Rangka mengejar cita-cita bangsa. Berdasarkan Penetapan President No.7 tahun 1959 tentang syarat-syarat dan penyederhanaan kepartaian, sehingga hasilnya jumlah partai-partai berkurang, walaupun jumlahnya masih cukup banyak yaitu 10 partai. Pada perekembangan selanjutnya dalam percaturan politik muncullah golongan-golongan fungsional (buruh, tani, dan lain-lainnya) yang kemudian membentuk Sekretariat Bersama Golongan Karya. Dalam rangka pemurnian wakil-wakil golongan fungsional dalam DPRD yang berafiliasi dengan partai-partai tertentu diberhentikan dan digantikan oleh mereka yang tidak berafiliasi dengan partai tertentu.
Dengan partai politik yang sekian banyaknya dirasakan masih belum dapat menjamin kesatuan dan persatuan nasional terutama dalam menunjang usaha-usaha pembangunan. Maka oleh Administrasi Negara dilakukan usaha-usaha selanjutnya untuk menyederhanakan jumlah partai-partai. Setelah dilakukan pembahasan yang mendalam maka disetujui oleh administrasi Negara, bahwa akan dilakukan fusi antara partai-partai yang berdasar islam kedalam satu partai, demikian pula sisa partai lainnya juga akan berfusi ke dalam satu sehingga terdapat dua partai dan Golongan Politik dan Golongan Karya. Kedua Parpol tersebut ialah Partai Persatuan Pembangunan (P3) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI).

 Kesimpulan

Dengan demikian politik itu bersangkut paut dengan Negara dan dengan sendirinya juga bersangkut paut dengan pemerintahan dan kekuasaan. Sebaliknya dengan fungsi,  Administrasi Negara merupakan usaha-usaha melaksanakaan khendak dari pada Negara (the execution of the will of the state). Jadi dengan demikian bahwa sistem politik dan administrasi Negara sangat erat berkaitan. Politik merupakan pangkal tolak Administrasi Negara dan Administrasi Negara merupakan kelanjutan dari politik.

Membangun Ekonomi Feminis Sosialis di Venezuela



Membangun Ekonomi Feminis Sosialis di Venezuela



Wawancara dengan Lidice Navas oleh Susan Spronk and Jeffery R. Webber


Seorang aktivis revolusioner lama/senior, Lidice Navas adalah seorang pemimpin feminis sosialis yang sangat penting keberadaanya dalam Partai Serikat Sosialis Venezuela (PSUV) dan seorang kandidat parlemen Amerika Latin, serta di antara sekian banyak tanggung jawab yang lainnya. Kami bertemu dengannya di Bank Pembangunan Perempuan di Caracas pada 18 Juni 2010, untuk membicarakan tentang visi sosialisme, pencapaian proses Bolivarian sejauh ini, dan apa yang masih harus dilakukan.


Apa sejarah politik Anda?


Saya adalah seorang kandidat PSUV di Caracas. Saya juga seorang anggota Biro Politik Daerah Caracas dan kandidat parlemen Amerika Latin. Saya juga memiliki tanggung jawab dalam Women’s Development Bank/ Bank Pembangunan Perempuan (Banco de Desarrollo de la Mujer, BanMujer) dan saya juga aktif sebagai koordinator dalam [Parroquia paroki] El Valle, di mana kami sedang mencoba membangun sosialisme mulai dari tingkatan masyarakat.

Saya telah menjadi aktivis revolusioner dalam kurun waktu yang lama. Pada tahun 1960, saya adalah seorang militan dari gerakan revolusioner di Venezuela. Seorang militan dan pendiri gerakan gerilya Bandera Roja pada tahun 1976, dan ketika pecah, saya bergabung dengan Bandera Roja Marxista-Leninista. Saya aktif sampai organisasi tersebut menghilang. Ini merupakan tahun-tahun yang sulit. Saya dipenjarakan berkali-kali dan tunduk kepada penganiayaan politik. Pada 1980-an, misalnya, saya adalah bagian dari eksekusi simulasi.

Saya mengasingkan diri di El Salvador, di mana saya ikut bersama dengan suami saya, dan kami sangat militan dengan gerakan gerilya FMLN revolusioner. Saya telah kehilangan baik suami dan anak saya yang pertama dalam perjuangan itu. Saya adalah bagian dari Komisi Kebenaran di El Salvador pada tahun 1992, dan memberikan pelatihan tentang hak asasi manusia pekerja sampai saya kembali ke Venezuela pada tahun 1995.

Ini adalah fase baru dalam perjuangan saat saya kembali. Saya pertama kali bertemu Hugo [Chavez] pada tahun 1994 dan bekerja pada kampanye pemilihannya di 1998.


Apa tujuan utama dari Bank Pembangunan Wanita?


BanMujer secara mendasar bertujuan untuk mengubah kehidupan perempuan, khususnya perempuan yang tidak memiliki akses terhadap sumber daya ekonomi. Seseorang/orang2 tidak akan bisa mencapai transformasi ini hanya dengan cara diberikan kredit saja. Hal ini membutuhkan proses sosial dan produktif serta pembentukan politik dan organisasi. Akses kredit mungkin apa yang awalnya bisa menarik perempuan untuk berpartisipasi dalam program, tetapi tujuan kami adalah untuk membangun organisasi kolektif yang membantu perempuan mengubah kehidupan mereka sehingga mereka menjadi protagonis dalam pemerintahannya sendiri. Para promotor dari BanMujer membantu mendampingi dan memfasilitasi proses politik. Sejak didirikan, BanMujer telah membantu lebih dari 400.000 wanita mengubah hidup mereka. Para wanita telah membentuk koperasi, brigade produksi, dan organisasi ekonomi sosial, yang penting dalam transisi menuju ekonomi sosialis. BanMujer telah bertindak sebagai katalis dalam proses yang lebih besar.

Apa yang menjadi tantangan dan prestasi bagi perempuan dalam proses Bolivarian?

Tantangan terbesar adalah untuk memecahkan ketergantungan hubungan-hubungan historis, diskriminasi dan pengucilan. Saya merujuk terutama masalah yang disebabkan oleh kemiskinan. Sebelumnya orang-orang miskin tidak memiliki akses terhadap kredit dari bank-bank swasta. Ini telah menjadi salah satu prestasi besar kita, yang telah mengilhami perempuan untuk menciptakan bentuk-bentuk baru produksi berdasarkan apa yang telah mereka ketahui, produksi non-kapitalis yang memajukan kita ke arah suatu bentuk ekonomi baru, ekonomi sosialis atau solidaritas.

Selama tiga tahun pertama kami memberikan kredit secara individu. Tapi sekarang berdasarkan apa yang telah kita pelajari, kita menekankan akan pentingnya organisasi. Hal ini juga berarti bahwa kita membentuk hubungan baru dengan atasan. Kami telah menciptakan Red Populer de Usuarias de BanMujer (Jaringan Populer dari Pengguna BanMujer) di mana perempuan saling membantu untuk membangun kepercayaan diri mereka, untuk membentuk masyarakat baru.

Pada BanMujer, kita tidak mendiskriminasikan perempuan hanya karena usia mereka atau karena mereka tidak tahu cara membaca dan menulis. Tidak masalah jika seorang wanita berusia lima puluhan, ia masih bisa menjadi anggota masyarakat yang produktif. Perempuan yang telah berpartisipasi dalam jaringan juga berpartisipasi dalam semua misi dan program yang ditawarkan. Banyak wanita yang belajar membaca dan menulis, dan bahkan belajar di universitas.

Saya juga bertanggung jawab atas proyek riset partisipatif di BanMujer yang bertujuan untuk mengevaluasi dampak/pengaruh dari program kami. Kami melakukan ini berdasarkan de diálogo saberes (pertukaran pengetahuan) yang mengevaluasi kekuatan dan kelemahan program keuangan dan program lainnya.

Pada saat ini salah satu tantangan utama saya adalah memperkuat koperasi. Proses mencoba mengubah koperasi menjadi organisasi ekonomi solidaritas membutuhkan kurva pembelajaran yang dalam untuk para peserta.


Apa ketegangan yang muncul ketika mencoba untuk mengartikulasikan kekuatan dari atas dan kekuatan dari bawah?


Kita tidak bisa melupakan bahwa kita bekerja dalam konteks yang ditandai oleh lebih dari 500 tahun kolonialisme, dimana mayoritas orang telah dikecualikan. Kolonialisme memecahkan tradisi solidaritas yang hadir di masyarakat adat sebelum coloniaers Spanyol tiba. Ini juga melanggar hubungan yang harmonis antara manusia dengan alam dan antara manusia itu sendiri, serta memaksakan budaya baru berdasarkan pengecualian/pemisahan antara yang mengeksploitasi dan yang dieksploitasi. Dalam kondisi seperti feodal, lahirlah kapitalisme. Dan tentu saja, sejarah ini memiliki pengaruh yang berat pada masa sekarang dan sulit sekali untuk berpisah dengan sistem ini untuk bisa maju dalam pembangunan sosialisme. Pengaruhnya berat pada semua aspek kehidupan.

Masih ada orang-orang dalam partai [para] PSUV yang bertanya pada diri sendiri, apa artinya berperilaku seperti seorang sosialis? Apa visi saya tentang sosialisme? Perdebatan ini meresap di semua tindakan kita, baik di tingkat lembaga maupun hubungan dengan masyarakat. Hal ini juga mempengaruhi masyarakat, sesuatu yang tercermin dalam kesulitan yang kita miliki dalam menghadapi pecahnya representasi politik lama. Misalnya adalah satu hal menjadi juru bicara dan menjadi wakil di lain hal. Bagaimana seharusnya saya bertindak dalam komunitas saya ketika kami sedang membahas sebuah proposal,apakah sebagai individu yang menyatakan pendapat saya sendiri atau saya harus ikut bersama-sama dengan keputusan mayoritas kolektif? Hal ini sangat rumit.

Dalam kaitannya antara hubungan produksi dengan koperasi-koperasi perempuan, misalnya, tidak adanya seorang atasan sehingga perempuan itu sendiri harus belajar bagaimana membagi pekerjaan. Keadaan mereka berbeda dari pekerja di perusahaan kapitalis di mana ada atasan yang memberitahu semua orang apa yang harus dilakukan. Para perempuan itu sendiri harus memutuskan bagaimana menggunakan sumber daya dan berbagi keuntungan. Ini bisa membuat shock

Di bidang lain, kami mengnginkan pembagian/pemecahan dalam rangka untuk memajukan kekuasaan rakyat yang mendalam. Untuk mengubah perilaku anggota parlemen, yang mana undang-undangnya untuk mengusulkan dan membahas, undang-undang yang kita butuhkan. Kita perlu memiliki transformasi di bidang ini juga untuk terus mendorong dan memajukan proyek pemberdayaan dewan masyarakat. Dewan ini harus mengasumsikan inisiatif, yang berasal dari rakyat. Rakyat harus menjadi legislator dan para deputi menjadi juru bicara rakyat. Ketika kami maju dalam proses ini kami juga maju dalam hal melemahnya konstitusi borjuis.

Saat ini kami memiliki parlemen burjuis yang membuat jelas pemisahan antara legislator dan rakyat, ada orang-orang yang membuat hukum dan yang lainnya melaksanakan hukum-hukum tersebut, pemisahan antara mereka yang berpikir dan mereka yang melakukan. Ini adalah kontradiksi yang besar. Ada banyak [dalam] parlemen yang menolak transformasi ini. Di sisi lain, rakyat belum yakin apa artinya menjadi seorang legislator. Ini adalah proses yang harus kita kembangkan.

Ada kontradiksi antara individu dan kolektif, negara ada dan negara memiliki. Dalam kapitalisme semua itu berbicara “tener” (memiliki); Apa yang Anda miliki itulah yang membuat Anda penting. Dalam sosialisme semua itu berbicara” ser” (ada/menjadi); Apa yang Anda lakukan itulah yang membuat Anda penting. Masalah “memiliki” ini adalah sesuatu yang juga menyebabkan korupsi, karena dorongan masih untuk mengumpulkan, memiliki lebih dari yang lain, untuk memiliki hak lebih, lebih banyak tempat.

Kami juga harus membuat perbedaan antara milik pribadi dan alat-alat produksi. Sayap kanan senang mengatakan bahwa Chavez akan mencuri rumah’rakyat, mobil, dan bisnis kecil mereka. Kami hanya berbicara tentang pergerakan melawan hak kepemilikan pribadi atas alat-alat produksi.

Klaim yang dibuat oleh sayap kanan sangatlah konyol. Jika pemerintah menciptakan semua program sosial untuk memungkinkan Anda memiliki rumah Anda, mobil Anda, mengapa ia harus mengambilnya? Saya kembali ke contoh dari koperasi. Idenya adalah mengkolektifkan alat-alat produksi di mana hubungan produksi didasarkan pada kerjasama dan solidaritas bukan eksploitasi.

Kita tahu bahwa akan memakan waktu lama untuk mengatasi kontradiksi-kontradiksi ini. Ini adalah sebuah proses yang panjang, tetapi juga merupakan proses yang sangat kaya. Hal ini didasarkan tidak hanya dalam visi Simón Bolívar, Simón Rodríguez tetapi (guru Simón Bolívar), dan ide dari masyarakat adat, yang memberikan sosialisme yang sedang kita bangun di Venezuela pada khususnya.


Bisakah Anda menguraikan lebih sedikit tentang visi sosialisme Anda, dan apa yang masih harus dilakukan untuk mencapainya?


Ada begitu banyak yang masih harus dilakukan. Pertama, kita harus memperkuat kekuatan rakyat. Hanya rakyat yang dapat memimpin rakyat. Kita membutuhkan rakyat yang terorganisir dan dipersiapkan. Sosialisme tidak dapat didasarkan pada pengecualian. Setiap orang harus diikutsertakan dalam semua rencana. Setiap orang harus dilibatkan sebagai seorang subjek yang produktif, setiap orang harus mampu meningkatkan kualitas hidup mereka. Anda tidak dapat memiliki sosialisme jika masih ada kelaparan. Anda tidak dapat memiliki sosialisme tanpa kesehatan. Anda tidak dapat memiliki sosialisme tanpa pekerja, tetapi bentuk kerja harus transformatif dan memajukan manusia.

Kedua, Anda tidak dapat memiliki sosialisme tanpa demokrasi, demokrasi di mana rakyat adalah pelaku utama nya. Ini berarti partisipasi rakyat dengan semua orang yang terorganisir. Kita tidak bisa memecahkan masalah kita secara individu. Solusi harus didasarkan untuk semua. Karena masalah yang tak terbatas dan sumber daya yang terbatas, solusi harus ditemukan dengan mengkoordinasikan tindakan negara dan massa rakyat.

Terakhir, sosialisme membutuhkan kesetaraan gender. Presiden memberikan visi ini, seperti halnya yang disampaikan banyak kawan dalam partai. Statuta PSUV, yang kami setujui pada bulan April 2010, menetapkan bahwa partai ini adalah partai sosialis dan feminis.